Judul di atas adalah kata - kata bahasa Arab, tetapi rasanya familier di lidah dan telinga kita. Seolah telah menjadi kata serapan ke dalam bahasa Indonesia. Nyatanya belum. Asal kata - kata tersebut terbentuk (mustaq) dari kata yang sama ja-ma-'a (jim, mim, ain) artinya berkumpul, berada pada satu tempat dua orang atau lebih. Kata ini memilikii makna seteru (musyarakah). Perubahan dari struktul awal bergeser pula maknanya.
Untuk kata yang pertama, Ijtima. Sering terdengar dikala mendekati bulan Ramadhan dan sebelum Lebaran. Kata ini satu istilah dalam ilmu astronomi (falaq). Adalah kedadaan posisi sejajar antara bumi, bulan dan matahari, pada satu garis pandang ufuk (horizon) bumi. Moment ini pertanda akan berakhirnya bulan (lama), berganti bulan baru. Dengan ketentuan pabila posisi hilal (bulan muda) naik sedikit hingga 2 derajat, saat matahari terbenam.
Hal demikian, adalah pendapat umum (qaul masyhur) di kalangan umat islam. NU dan Negara pada posisi madzhab ini. Atau pengikuti ketentuan 'irtif'ul hilal (keitinggian bulan muda), sekaligus mazhab ru'yatul hilal (observasi bulan). Sedangkan Muhammadiyah (MH) tidak dalam madzhab ini. MH berpandangan, jika menurut pehitungan astronomi (hisab) hilal sudah ada, meskipun masih di bawah atau sejajar dengan ufuk (0 derajat). Maka telah berganti bulan baru. Sebab, sejatinya hilal sudah ada. Sebutan untuk mazhab MH adalah mazhab hisab atau ‘wujudul hilal’ (adanya bulan).
Praktiknya, jika ijtima di posisi-akhir-bulan Sya'ban, bagi MH sudah langsung masuk Ramadhan di hari esok. Atau bila diakhir puasa, maka hari berikutnya adalah lebaran. Berbeda dengan mazhab pertama, mesti ada pembuktikan (rukyat) terlebih dahulu. Setelah pembuktian, bisa jadi puasa atau lebaran ditangguhkan pada esoknya lagi. Sebab hilal tidak nampak atau posisi kurang 2 derajat.
Inilah alasan - dalam waktu tertentu - warga MH lebih awal berpuasa atau lebaran dibanding umat Islam, eh warga NU. Apakah dalam soal lain – terkadang - MH lebih mendahului NU ?. Atau sebaliknya ?. Entahlah..
Masih soal frasa Ijtima, bagi umat islam kampung (an), NU kultur seperti saya. Dalam setiap bulan atau waktu tertentu, - masih - sering terdengar kata 'yaumul ijtima' dan 'lailatul ijtima'. Arti yang pertama hari berkumpul (pertemuan di siang hari), untuk arti kedua pertemuan di malam hari. Biasanya, untuk kegiatan yaumul ijtima diikuti oleh jamaah perempuan (fatayat-muslimat). Dan para lelaki berkumpul pada lailatul ijtima.
Isinya acara ini, ya pengajian. Seperti halnya pengajian 'rawatib' mingguan saja. Di awali dengan pembacaan tahlil, berdo'a untuk para orang tua, guru-guru dan kaum muslimin yang telah berpulang. Dilanjutkan dengan pengajian surah Yasin, Waqi'ah dan atau surat lainnya yang masyhur di kalangan 'Islam tradisional'. Ada untaian hikmah keagamaan oleh ajengan setempat dan diakhiri dengan do'a.
Ketika dikaitkan dengan yaumul atau lailatul ijtima, biasanya pengajian dengan gabungan beberapa majlis taklim terdekat, sesuai jenjangnya. Tingkat kampung, desa, dan seterusnya. Tambahan acaranya dengan menghadirkan penceramah oleh pengurus NU struktural, sekaligus ada informasi keumatan. Hal lainnya ada istighosah (do'a bersama) untuk keselamatan kaum muslimin dan keutuhan negeri tercinta. Tidak pernah ‘didegradasi’ atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ‘kesengsrem’ ingin berkuasa.
Meski dalam kemasan yang 'sederhana', khas orang kampung, tetapi sangant mulia. Warga di dalamnya terus berdo'a. Agar rakyat, pemimpin dan negara ada dalam keselamatan, keamanan dan keberkahan. Tak ada cacian atau mendengki kepada siapa saja yang berbeda. Baik ritual agama, pilihan politik, dll. Semoga acara ini masih bertahan di daerah lainnya.
Kata yang kedua adalah Ijma. Ijma adalah kesepakatan-konsensus bersama, para tokoh, pakar, ulama ttg satu hal. Biasanya soal keagamaan yang secara tekstual tidak termuat dalam teks 'formal-original' (Alquran dan Hadits). Atau masalah hajat hidup orang banyak lainnya. Seperti soal asas dan haluan negara. Para pihak yang kompeten, sangat penting untuk menetapkan satu garis-hukum- dimaksud. Dengan ini umat merasa tentram, sebab sudah ada normanya.
Para ahli di satu kawasan berkumpul bersama (ijtima) dalam satu forum, untuk menggali dan mencurahkan segala potensi (ijtihad), melaui dalil tafsir teks formal yang relevan dengan masalahnya atau argumen lain.Menguraikan pendapat, hingga menerima sanggahan atau saran dari pihak lain yang sama kafasitasnya. Pada akhirnya sampai pada kesimpulan-kesepakatan bersama. Inilah Ijma. Dalam bentuk formal seperti kesepakatan perundangan yang dihasilkan oleh legislator kita di paripurna DPR/MPR.
Apa yang menjadi ketentuan dalam ijma memiliki hukum tetap berlaku pada satu kawasan tersebut. Dan untuk soal agama, Ijma adalah dasar hukum ke tiga, setelah Alqur'an dan Hadits. Ormas Islam kerap melakukan tahapan ini. Seperti NU melalui forum bahtsul masail, MH melalui Majlis Tarjih, dll. Hasil kesepakatan-kesepahamnnya seperti di atas. Tidak pernah terjadi ‘diamputasi’ untuk menentukan satu atau dua orang nama pada jabatan publik.
Yang terakhir kata Jima. Soal ini mudah-mudahan akan dilanjutkan di waktu kamis malam esok, selagi mencari pencerahan selepas praktik
Advertisement