-->

[Info] Hati-Hati Bermain Medsos, Ada Uu Ite Yang Mengancam Kita

[Info] Hati-Hati Bermain Medsos, Ada Uu Ite Yang Mengancam Kita
[Info] Hati-Hati Bermain Medsos, Ada Uu Ite Yang Mengancam Kita
doc. merdeka.com

Di kurun digitalisasi dan internet yang semakin maju pastilah hidup kita tidak lepas dari hal sosial media, mirip twitter, path, facebook, dan blog. Tahukah kalian jikalau kita sembarangan menulis atau memposting hal yang sanggup menyinggung orang lain kini kita sanggup dituntut dengan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) no. 11/ tahun 2008.




Ini serius! Ada orang yang cuma meretweet kemudian dituntut, ada yang menulis dengan kata diduga kemudian orang yang merasa tertuduh tersinggung kemudian menuntut, bahkan suami kita pun (buat yang sudah berumahtangga) juga sanggup menuntut kita kalau kita posting pertengkaran rumah tangga di sosial media. Itu beberapa teladan saja.
 
doc. bloggercrony
Saat ini ada 134 kasus yang masuk di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers terkait pelanggaran UU ITE. Baru 20 kasus saja yang diputus persidangan. Hal ini diungkapkan Asep Komarudin pada Diskusi Publik “Mengawal Bersama Sidang Revisi UU ITE di dewan perwakilan rakyat RI” pada Kamis (18/2) kemudian di Gedung Comma ID. Diskusi ini diselenggarakan oleh organisasi non profit SatuDunia dan Sahabat Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA).

Apa itu UU ITE?
UU ITE pada awalnya dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat perekonomian alasannya sesuai namanya seharusnya UU ITE mengatur duduk kasus transaksi elektronik mirip iklan ataupun pajak dari transaksi elektronik. Komisi I dewan perwakilan rakyat RI  kemudian memasukkan beberapa pasal mengenai pencemaran nama baik seiring berkembangnya media sosial. Hal tersebut diungkapkan oleh Asep.



Pasal pencemaran nama baik gotong royong sudah ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini mengakibatkan UU ITE menjadi tumpang tindih dengan UU lainnya. Tidak hanya satu UU tetapi UU ITE tumpang tindih dengan Undang-Undang Dasar 1945, UU Keterbukaaan Informasi Publik no.14/2008, UU Pers no.40/1999 dan UU Perlindungan Konsumen no.8 /1999.

 Pasal yang menjadi perhatian dalam UU ITE ialah pasal 27 (khususnya ayat 3), 28 dan 29 yang kemudian disebut sebagai “pasal karet”. Ancaman pelanggaran terhadap ketiga pasal tersebut juga tidak main-main Enam (6) tahun penjara untuk pelanggaran pasal 27 dan 28 UU ITE, serta 12 tahun penjara untuk pelanggaran pasal 29 UU ITE. Hal ini menjadi polemik alasannya yang dalam proses penyidikan sudah sanggup eksklusif dipenjara. “Ada korban yang masih dalam proses penyidikan namun sudah eksklusif digunduli dan menjadi stress berat bermain sosial media,” ujar Ezki dalam diskusi sebagai pembicara.

 
Ezki Suyanto
Ngeri kan mendengarnya. Sedangkan isi dalam pasal tersebut dinilai masih multienterpretatif, kriteria pelanggaran dalam pasal karet tidak terperinci batasannya dan subyektif. “Pencemaran nama baik juga gotong royong hal yang sangat subjektif, sayangnya dengan UU ITE  hal tersebut sanggup menjadi hal yang obyektif di persidangan.  Untuk itu UU ITE lebih baik dihapuskan,” ujar Ezki.

Menurut Anwari dari SatuDunia Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengakomodasi orang yang “baper” (istilah kekinian untuk orang yang sensi) dan siapa saja sanggup mengambil celah dengan dengan menjadi gampang tersinggung. Orang yang sanggup kena tuntutan ialah artis, pns, jurnalis sebagai misalnya yang dituntut oleh pejabat publik yang mungkin tidak mau dikritik. Hal ini menjadikan semakin berkurangnya orang kritis dan kebebasan berpendapat.

Asep Komarudin dari LBH Pers

“Penghinaan dan pencemaran nama baik ialah delik aduan dan sanggup hilang jikalau dicabut oleh pelapor yang menuntut,” terperinci Asep. Sayangnya melalui UU ITE itu tidak sanggup diselesaikan secara musyawarah mirip melalui undangan maaf melalui media umum atau media lainnya.
Selain itu disayangkan bahwa penanganan kasus UU ITE juga menerima perlakuan yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. 

Anwari dari SatuDunia
Bayu Wardhana dari AJI Indonesia
Bagi Anwari pemberlakuan UU ITE mirip “membakar rumah untuk menangkap beberapa ekor tikus” dianggap berlebihan. Untuk itu Bayu Wardhana dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia juga mengingatkan blogger untuk lebih berhati-hati dalam menulis blog semoga tidak terancam UU ITE, “kode etik jurnalistik pasal 4 dan 8 sanggup dipakai sebagai panduan untuk menulis blog dan memperhatikan bahasa dan foto”. Selain itu alasannya blogger bukan jurnalis maka tidak dilindungi oleh UU Pers, melainkan hanya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 38E terkait kebebasan berpendapat.



Semoga dengan goresan pena ini teman-teman sanggup lebih berhati-hati dalam menulis, memposting atau menshare apapun di media umum ataupun di internet. UU ITE benar-benar mengancam kebebasan berekspresi kita. Mari bersama kita kawal revisi UU ITE semoga berfungsi sesuai tujuannya dan perlu tekanan publik ke pemerintah dan dewan perwakilan rakyat utk revisi UU ITE. -RGP-




Advertisement