-->

Mengintip Sisi Kemanusiaan Gusdur

Mengintip Sisi Kemanusiaan Gusdur
Mengintip Sisi Kemanusiaan Gusdur
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) image by google.com

Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal Gusdur adalah salah satu tokoh intelektual Indonesia yang pemikirannya sangat jauh melampaui batas. Ia sangat berani tampil kemuka menghadapi problematika sosial dengan keyakinannya sendiri, ditengah orang-orang mencaci maki atas tingkah dan langkah Gusdur yang sering kontroversial.

Mengapa Gusdur sering salah dimengerti? Sederhananya, apa yang Gusdur pikirkan tidak sebanding dengan pemikiran rakyat Indonesia yang masih sulit untuk dibawa pada kemaslahatan bersama. Dalam setiap persoalan, Gusdur selalu mengedepankan rasa kemanusiaan. Pantas saja Gusdur pernah berpesan atau memberi wasiat kepada kerabat atau sahabat Gusdur, agar diatas kuburannya ditulis kata, “Disini dimakamkan seorang humanis.” Artinya, bahwa ia betul-betul ingin disebut sebagai pejuang kemanusiaan. Bisa dikatakan bahwa Gusdur memiliki tingkat humanisme yang tinggi.
Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, humanisme adalah paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih baik.

Syaiful Arif, dalam bukunya Humanisme Gusdur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, menjelaskan terdapat beberapa sinyal yang menunjukan humanisme Gusdur. Pertama, pesan Gus Dur kepada sahabatnya, Djohan Efendy, agar setelah beliau meninggal, beliau ingin dimakamnya tertulis, “Di sini dimakamkan seorang humanis”. Wasiat ini menjadi sinyal akan “relung kedalaman nilai” yang ingin Gus Dur jaga dan sematkan atas dirinya. Kedua, pernyataan Gus Dur di Pesantren Ciganjur yang menyatakan, “Agama harus disandingkan dengan kemanusiaan. Jika tidak, ia akan menjadi senjata fundamentalistik yang memberangus kemanusiaan”. Pernyataan ini menyiratkan kesadaran Gus Dur akan perlunya kemanusiaan sebagai nilai sandingan yang harus berdampingan dengan agama. Sehingga agama tidak terbalik arah, menyerang manusia atas nama Tuhan. Ketiga, pemegang teguhan Gus Dur atas Surah Al-Maidah (5) ayat 32, Waman ahyaaha fakaannama ahyannaasa jamii’a. Barang siapa yang membantu kehidupan seorang manusia, sama dengan membantu kehidupan semua umat manusia. Ayat ini merupakan ayat utama Gus Dur, dan menjadi salah satu dasar bagi pengabdian hidupnya.

Jadi, jika dirumuskan, menurut Syaiful Arif, corak atau “jenis kelamin” pemikiran Gus Dur ialah pertemuan antara keislaman dan kemanusiaan.
Dalam menetapkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, pemikiran Gusdur berangkat dari maqashid as-syari’ah (tujuan utama syariat). Maqashid as-syari’ah memiliki lima jaminan dasar yang diberikan kepada masyarakat. Diantaranya, pertama, hifdzu ad-diin yaitu menjaga agama. Artinya, keselamatan keyakinan beragama menjadi tolak ukur keberagaman agama di Indonesia, tanpa memaksa agama lain untuk berpindah agama. Kedua, hifdzul ‘aql yaitu menjaga pemikiran. Artinya, salah satu adanya Undang-undang Dasar adalah menjamin kebebasan bepikir. Seperti apa yang dikatakan Gusdur saat ia tampil di Kick Andy. Menurutnya, Undang-undang Dasar menjamin kebebasan berpikir, tidak lain hanya untuk melindungi semua. Itu adalah hasil daripada tujuh abad lamanya bangsa Indonesia berpancasila tanpa nama yang disebut dengan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan. Ketiga, hifdzu an-Nafs, yaitu menjaga jiwa. Artinya, menjaga keselamatan fisik warga negara dari tindakan kekerasan diluar hukum. Inilah alasan mengapa Gusdur sangat anti terhadap kekerasan. Keempat, hifdzu an-nashl, yaitu menjaga keturunan. Artinya, keselamatan keluarga dan keturunan sangat dijaga didalam berbangsa dan bernegara, tanpa melihat suku, agama, ras dan budaya. Kelima, hifdzhul maal, yaitu, menjaga harta. Artinya, keselamatan atas kepemilikan harta benda dan milik pribadi selalu dijaga oleh agama dan negara.

Melihat hal itu, maka, Gusdur memandang letak nilai-nilai universal Islam ada pada perlindungan HAM. Benarlah ternyata, semua pemikiran gusdur memiliki tujuan utama, yakni humanisme Islam, yaitu Islam sebagai agama kemanusiaan. Humanisme Gusdur bukan meniadakan agama Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia berangkat dari sejauh mana pemuliaan Islam terhadap manusia. Landasan Gusdur sangat memuliakan manusia, terdapat dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70, yang berisi pemuliaan Tuhan kepada anak Adam. Dalam Al-Qur’an surat at-Tin ayat 4, yang berisi Penciptaan Tuhan kepada manusia dengan kualitas terbaik. Lalu, titik puncak Tuhan dalam memuliakan manusia terjadi saat Adam didaulat sebagai wakil-Nya di muka bumi. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30, yang berisi Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam mempertemukan Islam dan modernitas, Gusdur melakukan pendekatan melalui demokrasi, keadilan sosial dan persamaan di mata hukum. Sehingga, Gusdur mengakarkan tiga nilai, yakni syura’, ‘adalah dan musawah, tidak lain dan tidak bukan sebagai usaha Gusdur mewujudkan universalime Islam. Karena tanpa adanya ketiga nilai tersebut, hak-hak warga negara tidak akan pernah terlindungi.

Jika melihat beberapa tulisan Gusdur, arah pemikirannya menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menebar kasih sayang, toleran dan menghargai perbedaan.
Menurut Greg Barton, dalam buku Prisma Pemikiran Gusdur, bagi Gusdur Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran.
Jika melihat apa yang dikatan Greg Barton, Gusdur tidak pandang bulu melihat sisi kemanusiaan. Bagi Gusdur, semua manusia sama dihadapan Tuhan. Bahkan yang muslim dan non muslim pun sama dan tidak boleh diperlakukan tidak adil hanya karena perbedaan agama, kelas, suku, ras dan budaya. Disinilah letak mengapa gusdur selalu menghargai kepada sesama manusia, bahkan menjadi pejuang kemanusiaan. Contohnya saja, saat Gusdur menjadikan tahun baru Imlek menjadi hari libur, menjadikan agama Konghucu menjadi agama yang diakui di Indonesia, berusaha menghapus diskriminasi kepada PKI pada zaman Orde Baru yaitu usulan pencabutan TAP No. XXV/MPRS/1996 soal Pelarangan Partai Komunis Indonesia dan Pelarangan Penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme, semuanya adalah upaya Gus Dur untuk mengembalikan hak-hak kebebasan berpikir warga Indonesia secara terbuka.
Pada saat Orde baru, masyarakat Indonesia masih ingat dengan perjuangan Gusdur saat meruntuhkan tembok ketakutan rakyat Papua. Bagaimana tidak, mereka tabu menyebut diri mereka sebagai orang Papua, karena pada waktu itu sering diidentikan dengan Organisasi Papua Merdeka. Pada tahun 2002, saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Gusdur memberikan izin kepada rakyat Papua untuk menggelar Kongres. Bahkan, Gus Dur memberikan bantuan dana untuk membantu terlaksananya Kongres Rakyat Papua kedua. Bagi mereka, membuka ruang demokrasi dan mengembalikan identitas diri mereka menjadi hal yang sangat berharga. Karena, dalam kongres tersebut membahas terkait dengan menuntaskan distorsi sejarah Papua, penyelesaian kasus HAM di Papua, serta penuntasan persoalan tentang pengabaian hak-hak dasar dalam bidang ekonomi, sosial, budaya. Dan ternyata, hal itu benar-benar sesuai apa yang telah disampaikan oleh Gus Dur, menjelang tahun baru 2001. Gus Dur mengatakan, “Saya ingin ke Papua untuk melihat matahari terbit dari Timur” yang akan berdampak pada rakyat Papua.

Franz Magnis Suseno, seorang rohaniawan katolik dan budayawan Indonesia, sekaligus sahabat akrab Gusdur, mengatakan bahwa sosok Gus Dur adalah seseorang yang sangat mantap dalam agamanya. Ia mengatakan demikian karena melihat Gus Dur begitu ramah terhadap agama-agama minoritas tetapi keras terhadap agamanya sendiri. Bisa kita lihat saat Gus Dur mempermasalahkan soal gerakan-gerakan FPI yang selalu mengedepankan kekerasan dan menampilkan wajah Islam yang marah. Hingga Gus Dur sering banyak disudutkan oleh kalangan mereka, sampai Imam Besar FPI turun tangan. Namun, keyakinan Gus Dur tak goyah sekalipun. Ia terus berjalan seperti kapal laut yang sedang menghadapi badai besar. Komitmennya atas kebenaran yang ia yakini, patut menjadi pelajaran bagi kita semua ditengah pergeseran-pergeseran nilai dalam kehidupan.
Bagi Franz Magnis Suseno, Gus Dur telah mewujudkan Islam yang percaya diri, positif, terbuka dan ramah. Gus Dur merangkul berbagai kalangan. Bahkan menjadi tempat pelarian kaum minoritas disaat mereka butuh perlindungan ketika adanya diskriminasi atau diperlakukan tidak adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti misalnya etnis Tionghoa kala itu. Saat Gus Dur menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta, pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, Michael Utama Purnama, pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti), mewakili warga Tionghoa menyampaikan duka cita yang begitu mendalam. Menurutnya, sudah sepantasnya jika warga Tionghoa berdoa dan berduka di saat Indonesia kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Sebab, Gusdur adalah seorang tokoh yang tegak berdiri membela hak-hak etnis Tionghoa yang kerap diperlakukan diskriminatif di Indonesia. Bayangkan, sejak Orde Baru berkuasa setelah tahun 1965, semua kegiatan yang berhubungan dengan Tionghoa, semisal kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi termasuk perayaan Imlek. Semuanya tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Dan semua pelarangan itu sangat jelas bagian daripada bentuk diskriminasi negara terhadap etnis Tionghoa melalu sistem yang ada. Berkat Gus Dur lah, semua bentuk diskriminasi yang pernah dilakukan oleh Orde Baru dihapuskan. Sehingga, warga Tionghoa sering menyebut Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Jika digambarkan, sosok perjuangan Gus Dur mirip sekali dengan Mahatma Gandhi di India. Mahatma Gandhi merupakan penggerak atau pionir gerakan tanpa kekerasan. Setiap kata yang keluar dari seorang Gandhi adalah kata yang selalu menjadi pijakan warga India. Untuk mengetahui perjuangan kemanusiaan dan pluralitas Mahatman Gandhi, kita ketahui saat hari pembebasan di India datang pada hari kamis, 15 Agustus 197. Ia mengatakan dengan nada yang penuh harapan agar semua manusia dari semua agama, suku, dan ras di India berkumpul dibawah satu komando, satu panji agar terus memompakan semangat solidaritas mengusir kelompok yang picik dan sempit. Sosok Gandhi adalah sebuah nama yang selalu terkenang dan tertanam dalam hati bangsa India. Ia meninggalkan dua mantra bagi siapapun yang ingin melakukan perjuangan tanpa kekerasan. Kedua mantra itu adalah ahimsa dan satyagraha. Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan yang dia kembangkan, dan satyagraha adalah aksi perjuangan yang tidak memakai kekuasaan.

Kalau melihat semua sisi kemanusiaan Gus Dur, Gus Dur adalah sosok yang menggunakan mantra peninggalan Mahatma Gandhi, yaitu melakukan perjuangan dan perlawanan tanpa kekerasan. Maka, perjuangan Gus Dur harus menjadi suri tauladan bagi bangsa Indonesia untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia agar senantiasa utuh. Walaupun Gus Dur telah tiada, ia pun telah mewariskan sebongkah berlian. Yaitu, jasa dan pemikirannya yang masih hidup dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Kalau meminjam kata Franz Magnis Suseno, apa yang tinggal sesudah Gus Dur, setidaknya ada dua hal. Pertama, hubungan begitu baik antar umat beragama. Kedua, bagi generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis, cerdas, dan menjadi modal bagus bagi masa depan bangsa.
Gus Dur akan tetap ada dan selalu ada tidak akan binasa walaupun sudah tiada. Lahul Faatihah!
Advertisement