MEMBACA 'DUKUNGAN GUS DUR' (GUSDURIAN)
Mencegah agar Biduk Tak Pecah
Di Penghujung tahun 2009
Kita disuguhi pentas teatrikal ribuan manusia, mungkin termasuk kita, di halaman dan sepanjang jalan dari arah sebuah mesjid di wilayah Jakarta Selatan. Mesjid Munawaroh, Ciganjur.
Ribuan lagi memadati pelataran dan jalanan yang mengarah ke sebuah pesantren di bagian timur pulau Jawa yaitu Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Ribuan lagi, mungkin jutaan, berdzikir dan membaca Qur'an di seluruh pelosok negeri di ribuan mesjid, ribuan lonceng-lonceng gereja berdentang.
Dengung mantra dan doa dari ratusan Vihara, Klenteng-klenteng, Pura, bergemuruh di udara. Memenuhi ruang semesta raya.
Mungkin juga disaat yg sama nun jauh di luar sana dalam Kuil-kuil, ribuan Sinagog, jutaan Gereja ikut pula menyesaki langit dengan do'a-do'a umatnya.
Hari itu negeri ini telah kehilangan Sang Zahid, Guru Bangsa. Gus Dur. KH Abdurrahman Wahid.
Bisakah kita memahami ini semua. Betapa menakjubkan ribuan, jutaan orang berkumpul bak pelangi, Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan yang lainnya.
Mendampingi para Bhiku-bhikuni, Pedanda, Pendeta, Pastur, Kiai, bersama mengantar kepergiannya. Jika dekat dengan raga dan jiwa, jika jauh dengan zikir, wirid, mantra dan doa.
Inilah tahapan awal (sebagian) mimpi Gus Dur tentang Perilaku Beragama dalam mengarungi kehidupan bernegara dalam sebuah Biduk. Nusantara.
Negeri ini didirikan diatas keberagaman (agama). Tidak cukup hanya dengan saling menghormati, tapi juga harus saling mengerti. Harus ada rasa saling memiliki, tak cukup dengan hanya bertenggang rasa.
Saling mengerti dan rasa saling memiliki dibutuhkan agar hubungan tak retak. Karena jika telah retak sangat sulit menambalnya. Apalagi jika terpecah.
Umat Muslim sebagai mayoritas tentulah sangat besar peranannya.
'Saya mencita-citakan, Umat Islam Indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas.
Mampu memahami orang lain. Menumpahkan kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak.
Menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi' Gus Dur (Editor, Desember 1990)
Rangkaian tulisan diatas saya kutip bebas dari buku Tabayyun Gus Dur - LKIS (2010) dan Sang Zahid - KH Husein Muhammad (2012).
Rabu, 26 September 2018.
Yenny Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, puteri kedua Gus Dur mengumumkan dukungan Keluarga pada pasangan Calon Presiden dan Wakil dengan nomor urut Satu. Jokowi-KH Ma'ruf Amin.
Seakan melupakan jika ayahnya dulu sering beradu pendapat dengan Kiai Ma'ruf. Bahkan soal 'Goyang Ngebor'nya Inul Daratista.
Seakan lupa kekecewaan terganjalnya Mahfud MD oleh si 'Kancil' Cak Imin. Juga rebutan papan nomor suara juga dengan Cak Imin di KPU lima tahun lalu.
Ada yang lebih penting !
Mbak Yenny memang bicara bahwa penentuan pilihannya karena Pasangan Nomor Satu ini berpikir dan bertindak sederhana, namun kaya dalam karya. Dia pun menambahkan telah berkonsultasi dengan para sesepuh, para Kyai.
Namun Yenny pun mengatakan keputusan ini merujuk pada sosok sang Ayah, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid)
Nah . . . . !
Entah sebab cemas atau sekedar kerinduan nuansa teatrikal 'Kebersamaan dalam Keberagaman' seperti tulisan diatas, saya 'membaca' ada hal lain dengan pilihan Keluarga Gus Dur ini.
Hasil survey Wahid foundation 72 persen warga Indonesia menolak radikalisme. Namun 0,4 persen, 600 ribu orang pernah melakukan dan 7,7 % bersedia melakukan radikalisme. Itu berarti 11 juta orang.
Tentang intoleransi umat Islam, sebanyak 59.9 persen punya kelompok yang dibenci. Non-muslim, Tionghoa, PKI, dan lain-lain. Dan 92,2 % dari mereka tak setuju kelompok yg dibenci jadi pejabat pemerintah.
Bahkan 84 % tak sudi bertetangga dengan kelompok yg dibenci.
Ketika men-survey Perkemahan Rohis di cibubur bulan Mei 2017, ditemukan 60 persen bersedia berjihad di daerah konflik. Bahkan 68 persen bersedia berjihad di masa datang.
Dari jumlah tersebut 37 persen sangat setuju dan 41 persen setuju, Indonesia menjadi satu dgn sebuah keKhalifahan. Setuju pula negeri ini berbentuk keKhalifahan.
BIN (Badan Intelejen Negara) menyampaikan sekitar 39 persen Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terpapar Radikalisme.
Dan masih banyak lagi bukti dan berita tentang Intoleransi, Radikalisme, Persekusi berbau SARA, aksi sweeping para Fundamentalis di lapangan memenuhi keseharian kita. Bahkan di dunia maya.
Jadi mengapa Keluarga Gus Dur memilih mendampingi Jokowi-Ma'ruf Amin ?
Saya kira, kita semua boleh keras menduga, paparan diatas itulah yang menjadi salah satu sebab pokoknya. Menjaga agar Sang Biduk tak retak apalagi terpecah belah.
Dan sekarang kekuatan spiritual besar yang tersisa hanyalah NU.
Dan jika ada yg klaim, pengumuman keluarga Gus Dur tak berpengaruh pada warga NU, kaum Nahdiyin. Itu salah besar !
Karena yg mengaku Nahdiyin tapi terpapar Intoleransi, Radikalisme, dan faham Khilafah, itu bukan 'orang NU' (lagi) !
Nahdiyin tak mengenal itu !
NU hanya tahu dan ikuti, Habluminallah, Habluminannas, dan Hubbul Wathon Minal Iman !
Ini NU.
Advertisement