Perempuan setengah baya asal Kolombia Amerika Latin mendadak jadi perbincangan di media sosial.
Menjadi mualaf, Aisyah Anisa tinggal di Bogor, Jawa Barat, dengan mengandalkan dari hasil memulung.
Setelah viral, kini ia tak sendiri lagi menanggung beban hidupnya. Beberapa kalangan dan komunitas mulai berdatangan untuk memperlihatkan pemberian kepada ia dan anaknya.
Kisah pilu Anisa, perempuan 50 tahun itu mulai didatangi banyak orang. Rata-rata mereka yang tiba sebab merasa prihatin dengan kehidupan Anisa yang sehari-hari memulung.
Tapi sekaligus takjub dengan prinsipnya dalam menjaga keyakinan.
Umumnya, warga negara abnormal yang tinggal di Indonesia selalu hidup berkecukupan. Minimal, tidak perlu memulung hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Tapi tidak bagi Aisyah Anisa, yang berjulukan orisinil Martha Eugenia Rojas Avila itu justru hidup dalam kepapaan di Kota Hujan. Sehari-harinya, ia mencukupi kebutuhan hidup dengan memulung.
Raisah, 20, anak semata wayangnya yang tinggal serumah dengannya kian menambah kepiluan hidup Anisa.
Raisah hanya sanggup terbaring dan terkulai lemah sebab penyakit kanker darah dan stroke semenjak setahun lalu.
Diajak bicarapun sulit. Ia sudah diobati berkali-kali dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, namun, penyakitnya tak kunjung sembuh. Anisa pun tak mempunyai biaya komplemen untuk mengobati Raisah.
Kisah Anisa yang ramai diberitakan, rupanya dilirik oleh Yayasan Baitul Maal dari Perusahaan Listrik Negara.
Mereka, bersama empat orang timnya, tiba pribadi ke kediaman milik Anisa di Kampung Curugmekar Kelurahan Curug Mekar.
Mereka memperlihatkan pemberian uang tunai santunan sebesar Rp 4.000.000 untuk Anisa. “Sebenarnya kami sangat terketuk dengan usaha Anisa bertahan hidup.
Ditambah anaknya berjulukan Raisah juga menderita sakit lumpuh,” kata Koordinator Bidang Pemberdayaan YBM LPM Badawi kepada Radar Bogor (Jawa Pos Group).
Secara fisik, kontrakan tempat tinggalnya cukup layak dan jauh dari kesan kumuh. Tak terlihat banyak perkakas dan barang-barang di dalam rumah berukuran sekitar 4 x 5 meter itu.
Radar Bogor mendatangi kediaman perempuan 50 tahun itu menjelang siang, sekitar pukul 12.00. Akses ke rumahnya cukup sempit. Hanya sanggup dilalui kendaraan roda dua. Saya berkali-kali harus bertanya kepada warga setempat.
Meski banyak yang mengenalnya, namun jarang orang yang tahu rumahnya. Setelah beberapa menit mencari, alhasil ketemu.
Orangnya kebetulan sedang berada di rumah. Maklum ia harus terus mengontorol kesehatan putrinya Raisah, 20, yang hanya sanggup terbaring di kasur sebab penyakit leukimia (kanker darah) yang dialaminya.
Aisyah Anisa sesungguhnya bukan nama aslinya. Nama itu gres ia pakai 20 tahun silam, semenjak ia memutuskan masuk Islam.
Di negara asalnya dan dokumen imigrasi,nama Martha Eugenia Rojas Avila masih menjadi identitasnya.
Dia juga masih berstatus warga negara abnormal (WNA). Kepada wartawan ia pun lebih bahagia dipanggil Anisa.
Nama itu diberikan oleh seseorang yang mengislamkannya ketika ia tinggal di Bandung beberapa tahun lalu.
Awalnya, Anisa enggan membuka diri. Dia masih belum terbiasa dengan media. Namun, lama-kelamaan sikapnya mulai mencair.
Berkat Nuh, Ketua RT 02/04 Curug Mekar yang mau menyakinkannya. Nuh kebetulan salah satu orang yang bersahabat dengan Anisa.
Tim radarbogor.id memang sudah janjian untuk bertemu dengan Nuh di kontrakan Aisyah. Hal pertama yang Anisa share yakni wacana kondisi anak semata wayangnya Raisah.
Dara 20 tahun itu lumpuh. Tak sanggup berjalan atau sekedar duduk. Sebagian organnya tidak berfungsi dengan baik akhir stroke. Bagian leher bengkak. Sementara kakinya terlihat menyerupai bekas luka lebam akut.
“Nih lihat,” kata Anisa mengambarkan beberapa sisi kaki anaknya kepada wartawan.
Terlihat terang bekas-bekas luka lebam berwarna merah di kaki kanan dan kiri. Rupanya, bekas luka itu sudah usang ada. Dari balik luka inilah, Anisa mulai terbuka.
“Dua puluh tahun kemudian saya berlayar dengan kapal pesiar dari Amerika. Di sana, saya bertemu seseorang yang kemudian menikah dengan saya. Saya dibawa ke Indonesia. Saya masuk Islam dan menikah dengannya. Saya tinggal di sebuah kawasan yang jauh dari sini,” kata Anisa dengan aksen khasnya.
Dari caranya berbicara, Anisa tampak mahir berbahasa Indonesia. Ia paham semua tutur kata yang ditanyakan. Ia pun tak canggung berbicara bahasa Indonesia dengan siapa pun.
Hanya saja, lidahnya sebagai orang abnormal tak sanggup disembunyikan. Setiap kata yang diucap masih terasa aksen Inggris versi british.
Dia menjelaskan ketika pertama menginjakan kaki di Indonesia semua baik-baik saja. Dia tinggal bersama suaminya di Bandung. Bahagia. Mereka pun dikarunia anak Raisah.
Dia lahir dalam keadaan normal. Cantik: perpaduan Sunda-Kolombia. Meski lebih banyak Kolombia-nya.
Namun, lanjut Anisa musibah itu bermula ketika suaminya memutuskan menikah lagi yang tak lain yakni pembantunya sendiri.
“Itulah yang menciptakan saya terpukul. Saya kemudian lebih menentukan keluar dari rumah. Dan meninggalkan Bandung,” beber dia.
Di masa-masa pelarian ini, Anisa mencicipi aneka macam nelangsa hidup. Ia pernah mendekam di balik jeruji Lapas Paledang selama tiga bulan.
Hingga pernah tinggal dan hidup lima bulan di tempat pemakaman pemakaman umum (TPU) kawasan Jakarta.
Namun, di masa-masa pengembaraan itu, ia tetap menentukan Bogor sebagai tempat singgah dan muara simpulan perlindungan. “Saya makan apa saja. Yang penting halal ketika itu,” ucapnya.
Kurang lebih selama setahun ia hidup tak pasti. Pindah-pindah kota. Bogor, Jakarta. Jakarta, Bogor. Menumpang kereta. Hidup di jalan.
Akhirnya ia lelah. Dan memutuskan tinggal menetap. Kota Bogor dipilih sebagai rumah keduanya.
Tahun ini merupakan tahun ke-12 ia menetap di Bogor. Wilayah kelurahan Curug Mekar yakni tempat tinggalnya dari dulu sampai sekarang.
Di awal-awal menetap, Anisa mengaku sangat kebingungan. Dia tak mempunyai uang untuk mengontrak rumah.
Sampai alhasil ia memutuskan menjadi pemulung. Tidur masih tidak tentu. Dimana saja yang penting aman. Dari situ bertahap uang sanggup ia kumpulkan.
Dia pun ingin menerima rezeki lebih. Caranya dengan mempunyai gerobak sampah.
Dari gerobak sampah ini ia bertemu dengan Nuh, Ketua RT 02 RW 04 Kelurahan Curug Mekar. Yang menjual gerobak sampah kepada Anisa.
“Ya saya memulung, saya ambil sampah. Saya berputar dari rumah ke rumah yang lain. Saya ini Islam. Agama saya tidak melarang saya untuk memulung. Tapi agama saya melarang saya untuk menjadi pengemis dan peminta-minta. Lebih baik saya jadi pemulung dari pada harus meminta dan mengemis kepada orang lain,” bebernya.
Advertisement