-->

Di Jamin Nangis Bacanya! Goresan Pena Seorang Suami Yang Menjaga Istrinya Sampai Ajal

Di Jamin Nangis Bacanya! Goresan Pena Seorang Suami Yang Menjaga Istrinya Sampai Ajal
Di Jamin Nangis Bacanya! Goresan Pena Seorang Suami Yang Menjaga Istrinya Sampai Ajal
Sebuah cerita aktual yang sangat mengharukan
dialami seorang laki-laki yang kehilangan istrinya alasannya yaitu penyakit kanker. Tetapi, dalam perjalanan jelang maut sang istri, laki-laki tersebut semakin mengantarkan istrinya. 

Berikut kisahnya yang diberikan pemakai Facebook berjulukan Mas Rozi yang sangat mengharukan serta membujat netizen menangis membaca perjalanan cinta pasangan tersebut.

“Tiba-tiba HP ku berdering, seusai menjawab salam bunyi diseberang telepon tampak panik “Ayah.. ibu mimisan nich.” Hmm.. kumaklumi kepanikan istipsu dikala itu alasannya yaitu belum sempat dirinya mengalami mimisan semacam ini. 
Sebuah cerita aktual yang sangat mengharukan Di Jamin Nangis Bacanya! Tulisan Seorang Suami yang Menjaga Istrinya Hingga Ajal


Terbukti cuaca pada bulan Agustus 2007 siang itu begitu teriknya. Aku pikir ini dampak cuaca yang terik itu. Kemudian saya sarankan dirinya untuk segera ke dokter.

Kemarin hari kemudian istipsu sakit pilek. Semacam biasanya kalau sakit ia hanya minum obat warung serta jarang sekali mau periksa ke dokter. “ oalah bunda…. ke dokter ajah kok takut,” ledekku, ku sorong pipi kenyalnya dengan ujung jari, ia merajuk bibirnya maju 2 centi, lucu menontonnya semacam itu.

Dua ahad berselang tapi pileknya belum juga hilang. Malah katanya ada yang terasa menyumbat di jalan masuk hidungnya, rasanya tidak enjoy serta sulit bernafas. “Bun… besok kami ke Rumah Sakit ya! biar ayah ijin masuk siang,” rayuku supaya ia mau ke Rumah sakit.

Keesokan harinya saya ajak ia ke RS. Bhakti Yudha Depok. Saat itu dokter THT bilang istipsu alergi pada debu serta juga bulu-bulu binatang. Tapi hingga obatnya habis pileknya belum juga ada gejala kesembuhan.
Anehnya yang sering keluar lendir hanya hidung sebelah kiri saja. Bahkan istriku mulai susah bernafas melalui hidung, ia hanya bisa bernafas melalui mulut. Dan ketika saya membawanya periksa untuk kedua kalinya dokter menyarankan untuk rontgen. Namun dari hasil rontgen tidak terlihat adanya kelainan apapun di hidung istriku.
***
Tanggal 3 Nov 2007 …
Aku mengajaknya periksa ke RS Proklamasi Jakarta, lantaran berdasarkan informasi di sini peralatanya lebih lengkap. Ternyata benar, dengan alat penyedot dokter mengeluarkan lendir dari dalam hidung istriku. Senang rasanya melihat ia sanggup bernafas dengan lega. “Alhamdulillah…..”

Beberapa hari kemudian sumbatan itu kembali muncul. “Duh..bunda!” Kontrol kedua ke RS. Proklamasi masih saja dokter belum bisa memberikan penyakit apa yang dialami istriku ini.

Dokter memasukkan kapas lembap ke hidung istriku (ternyata itu yaitu bius lokal), beberapa dikala kemudian sebuah gunting kecil dimasukkan kedalam hidung dan.. “krek” potongan daging kecil diambil. Belakangan gres saya tau tindakan inilah yang dinamakan biopsi. Tak ada yang disampaikan kepada kami. Dokter menyarankan dilakukan CT Scan. Kemudian kami menuju ke RSCM untuk CT Scan.

Keesokan harinya hasil CT Scan saya bawa kembali ke Dokter RS Proklamasi. Setelah melihat hasil Scan, Dokterpun memberikan hasilnya dan juga hasil biopsi dari laboratorium.
“ini ibu positif,” kata dokter sambil memperlihatkan foto CT Scan. Nampak ada sebuah massa diantara belakang hidung dan tenggorokan istriku. Cukup besar seukuran kepalan tangan. Aku masih belum mengerti maksud kata-kata nya dan memang sama sekali tak ada pikiran yang asing saya coba bertanya, “maksudnya apa dok?”
“ibu positif kanker!”
Dek.. seolah detak jantungku berhenti “KANKER…Dok?” Tiba-tiba mataku jadi gelap, sebuah beban berat serasa menindih badanku. Aku membisu dan tak bisa berkata apa-apa, usang saya terdiam.

“Kanker..?” tanyaku, tapi kalimat itu tak bisa terucap hanya bersarang di kepalaku. Sebuah penyakit yang selama ini hanya saya kenal lewat informasi dan berita-berita, kini penyakit itupun menghampiri orang terdekatku orang yang paling saya sayangi. Penyakit yang menyeramkan itu menyerang istriku.
Kutatap wajah elok istriku yang dibalut jilbab favoritnya, tenang.. teduh… tak ada ekspresi apa-apa saya makin bingung.

“duhh…bunda apa yang ada dalam fikiranmu bunda…”
“Sekarang bapak ke RSCM ke penggalan Radiologi kita harus bertindak cepat,” tiba-tiba saya tersadar. Segera kuambil surat pengantar dokter dan menuju RSCM.
Sungguh tak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya, kini kami berada dalam deretan orang-orang penderita kanker di ruang tunggu seorang jago Radiologi ini. Aroma kecemasan bahkan keputus asaan tergambar di wajah mereka. Sebenarnya ini juga saya rasakan, tapi saya harus menyembunyikan raut ini di hadapan istriku. Aku harus tetap menyuguhkan energi penyemangat padanya.
Dihadapan dokter Radiologi saya bertanya, “sebenarnya istriku kena kanker apa dok?”
“kanker nasofaring.” jawab dokter singkat.
Ya Allah….kanker apa lagi ini? Istilahnya saja asing bagiku. Kenapa harus istriku yang mengalaminya?
“Tapi Insya Allah masih bisa disembuhkan dengan pengobatan sinar radiasi dan kemoterapy,” dokter mencoba menangkap kegalauan diwajahku.
“Nanti ibu harus menjalani pengobatan radiasi selama 25 kali.”
Terbayang beratnya derita dan kelelahan yang harus dialami istriku. Belum lagi dengan kombinasi pengobatan kemoterapy yang melemahkan fisik.

Keluar dari ruang radiologi seolah semuanya jadi gelap, rasanya saya tak berpengaruh menahan segala beban ini. Segera saya sms family dan teman-teman dekatku, saya kabarkan keadaan istriku dan kumintakan do’a dari mereka. Tak terasa bulir-bulir bening air mata bermunculan disudut mataku.
“Ayah kenapa? nangis yach..?” dengan polos pertanyaan itu keluar dari bibir istriku.
“iya, ayah sayaaang…. sama bunda,” suaraku gemetar.

Ku usap lembut kepala istriku. Ku tepis perlahan tangannya yang mencoba mengusap air mataku, ku gengggam berpengaruh jari-jari lemahnya. Hatiku berbisik “kenapa tak ada kesedihan diwajahmu bunda? apakah bunda ga tau penyakit ini begitu berbahaya? Atau Allah telah memberitahukan ini semua kepadamu?”
Bunda biasa ajah koq..” Jawabanya malah makin membuatku tak bisa bernafas, air mataku akibatnya jatuh juga.

Kususuri lorong-lorong RSCM dengan langkah lemas tak bertenaga seolah saya melayang, tulang-tulang terasa tak bisa menyangga badanku yang kecil ini.
Tanggal 5 Desember 2007 …
Mulai hari itu istriku harus dirawat inap di RS. Proklamasi. Semua persiapanpun dilakukan mulai dari USG, Bond Scan dll. Hasilnya rahim masih higienis dan tulangpun normal artinya kankernya belum mejalar ke penggalan lain, Alhamdulillah…sempat kuucap kata syukur itu.
Tanggal 8 Desember 2007 …
Hari ke empat. Sore itu saya dipanggil ke ruang Dokter Sugiono yang akan melaksanakan Kemoterapy. Dikatakan bahwa kanker istriku stadium 2A dan Insya Allah masih bisa diobati. Istrikupun siap untuk menjalani pengobatan dengan kemoterapy. Kemudian kami minta ijin ke Dokter untuk diperbolehkan pulang sambil mempersiapkan segala sesuatunya.

Malam hari ketika kami di rumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga perihal pengobatan yang akan kami lakukan. Dengan aneka macam pertimbangan dan alasan pihak keluarga menyarankan semoga kami tidak menempuh jalan kemo dan radiasi. Kami disarankan untuk menjalani pengobatan dengan cara alternatif dan pengobatan herbal.

Akhirnya semenjak dikala itu kami melaksanakan ikhtiar pegobatan dengan cara alternatif dan minum obat-obat herbal. Karena dikala itu istriku sudah susah untuk menelan maka obat herbal yang diberikan tidak berupa kapsul, melainkan berupa rebusan. Setiap hari istriku harus minum ramuan dan rebusan obat-obat herbal yang baunya sangat menyengat. Tapi saya lihat ia dengan telaten dan sabar rutin minum semua obat-obatan itu.

Semangatnya untuk sembuh begitu besar. Doa pun tiada henti kupanjatkan siang dan malam. Dan malam-malamku selalu ku habiskan dengan tahajud dan hajat.
Aku mulai rajin mencari semua informasi yang bekerjasama dengan kanker nasofaring, mulai dari makanan, cara pengobatan, bahkan alamat klinik pengobatan alternatif. Semua informasi saya cari melalui internet, koran dan dari rekan-rekan kerja.

Tiga bulan pengobatan, tapi Allah tampaknya belum memberi jalan kesembuhan dengan cara ini, akibatnya obat herbal saya tinggalkan. Bahkan pengobatan alternatif sudah saya tinggalkan semenjak 1 bulan pertama lantaran saya ragu. Beberapa keluarga istri mulai putus asa. Malah ada yang beranggapan penyakit ini yaitu kiriman dari orang. Tapi saya bantah semuanya,sempat ada kontradiksi di antara kami. Aku yakinkan istriku bahwa ini yaitu memang ujian dari Allah,

“Bun..semuanya atas kehendak Allah, bahkan jauh sebelum kita lahir sudah tertulis takdir ini, usia segini bunda sakit, berobat kesini-sini itu semua sudah ada dalam catatan Allah bun. Yang penting kini kita jangan lelah berihtiar dan bunda tetep harus semangat untuk sembuh.” Ia mengangguk perlahan.

Berat tubuh istriku mulai turun drastis lantaran tak ada asupan makanan, sebelum sakit beratnya 53 Kg kini tinggal 36 Kg. Kondisinya makin parah dan puncaknya ketika saya lihat mata kirinya sudah tak focus. Cara ia melihat menyerupai orang juling. Menurut Dokter herbal yang menangani istriku inilah rangkaian perjalanan kanker tersebut yang usang kelamaan akan menyerang otak. Dokter menganjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Tanggal 26 Maret 2008 …

Akhirnya saya kembali membawanya ke Rumah Sakit. Kali ini saya membawanya ke RS. Husni Thamrin. Istriku ditangani oleh team yang terdiri Dokter THT, Dokter Internis dan Dokter seorang jago ahli kemoterapy, Kebetulan Dokter Sugiono jago kemoterapy yang dulu merawat istriku di RS. Proklamasi juga praktek di sini. Dan kini Dokter sugiyono kembali menangani istriku. Sore itu Dokter memanggilku ke ruangannya. Doktermenjelaskan stadium kanker istriku sudah menjadi 4C, dan kankernya sudah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak. Melihat hasil CT Scan nya saya merinding, terlihat terang tulang-tulang tengkorak itu keropos layaknya daun terpengaruhi ulat. Aku ingin menjerit, “Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ayah bun, ayah tak bisa menjaga bunda…!”

Yang lebih mengagetkan ketika dokter mengatakan, “kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya bukan mengobati.” Seolah hitungan mundur final hidup itu dimulai. Aku limbung dan hampir taksadarkan diri, sekuat tenaga saya mencoba untuk tetap tegar. Dengan dipapah adik saya keluar dari ruang dokter.

Segera saya menuju Mushola kuambil air wudhu dan kujalankan sholat. Entah sholat apa yang kujalankan ini.
“Aku ingin ketenangan saya butuh pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan segala permohonan ini dihadapanMu yaa Allah. Bisa saja dokter memfonis dengan analisanya, tapi Engkaulah yang maha kuasa atas segala sesuatunya. Engkau maha menggenggam semua takdir, sakit ini dariMu ya Allah dan padaMU juga saya mohon obat dan kesembuhannya.”

Segala ikhtiar dan do’a tiada lelah kulakukan tuk kesembuhan istriku. Malam-malamku kulalui dengan sujud panjang disamping bangsal rumah sakit. Kubenamkan wajahku diatas sajadah lebih dalam lagi, tiba-tiba saya merasa tak mimiliki kekuatan apapun, saya berada dalam kepasrahan dan penghambaan yang lemah.
“Robb…Engkau maha mengetahui, betapa segala ihtiar telah kami lakukan. Tiada mengalah kami melawan penyakit ini, kini saya serahkan segalanya padaMu, tidak ada kekuatan yang sanggup mengalahkan kekuatannMu yaa…Robb, Tunjukkan pertolonganMu, beri kesembuhan pada istriku Ya..Allah.”

Saat itu istriku masih bisa bicara meski dengan bunyi kurang jelas. Karena tenggorokannya pun sudah menyempit tersumbat kanker, ia sangat kesulitan dalam bernafas. Untuk mengantisipasi semoga tidak tersumbat jalan masuk nafasnya, dokter menyarankan semoga dipasang ventilator dileher istriku. Akupun menyetujuinya meskipun saya tak tega, tapi ini resiko terkecil yang bisa diambil.
Istriku pasrah, beliau minta saya menemaninya ke ruang operasi. Aku sangat mengerti ia sangat takut dengan peralatan medis di ruang operasi. Kemudian saya mendampinginya kedalam ruang operasi untuk pemasangan Ventilator. Aku melihat dengan terang leher istriku disayat kemudian dimasukkan alat bantu pernafasan itu. “Sebenarnya saya tak tega melihatmu menyerupai ini bunda, tapi inilah yang terbaik untukmu dikala ini.”

Selesai pemasangan ventilator bicaranya sudah tak bersuara lagi. Sejak dikala itu mudah komunikasi kami hanya dengan kode atau terkadang istriku menulisnya pada lembar-lembar catatan kecil yang sengaja saya siapkan. Tentu saja hal ini terasa capek baginya. Namun sekali lagi ia terlihat tegar tak pernah saya mendengar ia mengeluh.
Akhirnya dengan aneka macam pertimbangan akupun menyetujui untuk dilakukan kemoterapy terhadap istriku.

Tanggal 6 April 2008 …
Kira-kira jam 12 siang kemo tahap pertama dilakukan. Dengan perasaan tak menentu saya melihat dokter meracik obat dengan perlengkapan pengaman yang lengkap. Karena berdasarkan dokter obat ini memang keras.
“Ya Allah beri kekuatan pada istriku…!” Beri kesembuhan melalui ihtiar obat ini ya Allah..!”
Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga.
Menurut Dokter kemo ini dilakukan dalam 3 hingga 5 tahap. Satu tahapan kemo memakan waktu 5 hari kemudian jeda 3 ahad untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Hari kedua sesudah kemo kurang lebih jam 9 malam, istriku mulai merasa mual dan muntah. Hari ketiga jam 12 malam mulai keluar mimisan dengan darah hitam mengental. Hari ke empat jam 8 pagi ketika saya memandikan dan membersihkan mulutnya yang terus menerus mengeluarkan lendir, terdapat lendir bercampur darah hitam pekat dan mengental.
Menurut dokter ini yaitu tanda kankernya sudah mulai hancur. Malam harinya istriku tidur sangat nyenyak dan tidak banyak batuk berdahak menyerupai hari-hari sebelumnya.

Alhamdulillah kemo tahap pertama selesai. Dokter bilang bila kondisi istriku membaik maka tiga hari lagi boleh pulang. Terlihat wajah cerah istriku ketika mendengar kabar ini. “nanti kalo pulang mau kemana bun.. ke Sawangan apa ke Kebayoran (rumah ibunya)?”
“ke Sawangan aja rumah kita sendiri,” jawabnya melalui secarik kertas. Namun ternyata dua hari kemudian ia mengalami diare yang hebat ini yaitu imbas samping dari obat kemo, sehingga kondisinya kembali lemas. Rencana pulangpun harus ditunda menunggu kondisinya membaik. Tetapi makin hari kondisi istriku makin drop. Hingga menjelang kemo tahap kedua malah albumin dalam darahnya menurun.

Selama dirawat istriku meminta semoga saya sendiri yang memandikannya, bahkan saya juga yang membersihkan kotorannya. Semuanya saya kerjakan dengan telaten lantaran saya merasa kini saatnya untuk membalas semua kebaikan yang telah dilakukannya kepadaku selama ini. Ketika istriku sehat dialah yang selalu merawatku, menemaniku dan selalu menyiapkan semua kebutuhanku.

Selama hampir satu bulan di Rumah Sakit kami merasa menemukan keluarga baru. Keakraban terjalin antara kami dengan team dokter, dengan para suster bahkan juga dengan cleaning service yang tiap hari membersihkan kamar istriku. Saya merasa senang ketika suatu hari istriku sanggup tertawa riang bercanda dengan para suster meski tawanya tanpa suara.
Minggu, 4 Mei 2008 …

Kemo tahap ke 2 dilakukan. Sepertinya Allah benar-benar menguji kesabaranku. Ketika hendak dilakukan kemo, tabung infus 1000cc yang dipakai untuk adonan obat kemo ternyata tidak ada. Rumah sakit kehabisan stock, dan ini yaitu sebuah kecorobohan yang mestinya tidak terjadi.

Karena tentunya pihak rumah sakit telah mengetahui kegiatan pelaksaan kemo ini. Dokterpun marah. Kemudian Dokter menyarankan saya untuk segera membeli sendiri tabung infus di daerah lain. Tujuan saya yaitu RSCM sebagai Rumah sakit terdekat, namun bila menuju RSCM memakai kendaraan akan memakan waktu usang lantaran jalannya memutar. Sayapun berlari ditengah terik matahari pukul 12 siang menuju RSCM. Namun disanapun tidak tersedia, kemudian saya berlari lagi menuju RS Sant Carolus, di sinipun nihil.

Begitu juga ketika saya ke Apotik melawai tak bisa mendapatkannya. Akhirnya saya mendapat tabung infus tersebut di Apotik Titimurni RS. Kramat. Akhirnya kemo tahap ke 2 pun sanggup dilakukan.
Senin, 5 Mei 2008 …
Hari ini Dinda anak kami yang kecil ulang tahun ke 4. Perhatian dan kecintaan istriku pada anaknya tak pernah berkurang. Dibatas ketidak berdayaannya beliau menuliskan sesuatu, “Ayah jangan lupa beliin hadiah buat Dinda, ayah beliin jaket nanti bunda titip mukena, kasihan mukena dede sudah jelek. Bilang ke dede ini mukena dari bunda.”
Atas seruan istriku siang itu sebagai tanda syukur kami memotong 2 buah camilan manis ulang tahun yang salah satunya untuk dibagikan ke suster-suster yang jaga. Kemudian istriku minta dibantu turun dari daerah tidur, katanya ingin duduk bareng deket Dinda. Ia mencoba memperlihatkan senyum senang pada Dinda dan menyembunyikan rasa sakitnya. Sementara Dinda nampak senang dipangku bundanya, mungkin ia menduga bundanya hanya sakit biasa saja. Lagu “selamat ulang tahun” yang kami nyanyikan terdengar getir di telingaku. Terasa pilu saya menatap mereka.
Selasa, 13 Mei 2008 …

Biasanya bila istriku menginginkan sesuatu ia akan membangunkan saya dengan mengetuk besi daerah tidurnya. Namun malam itu saya merasa sangat ngantuk dan lelah, saya menulis pesan pada istriku, “bun..nanti kalo perlu apa-apa panggil suster aja ya! Ayah ngatuk dan cape, jangan bangunin ayah ya!” Dengan kode lemah ia mengiyakan permintaanku, ia mengusap tanganku kemudian menuliskan sesuatu “ayah tidur aja gapapa kok, bunda juga mau istirahat.”
Rabu, 14 Mei 2008 …
Entah mengapa pagi ini saya sangat ingin merawatnya. Ketika ia kembali diserang diare berkali-kali yang sangat hebat saya sendiri yang membersihkan semuanya. Kemudian memandikannya dan mengganti pakaiannya. Pagi itu saya minta Lia anak sulung kami yang masih duduk di kelas 5 SD untuk menjaga bundanya, sebelum kemudian saya tinggal berangkat kerja.

Siang pukul 11 Lia menelpon “Ayah, bunda pingsan nafasnya cepet banget.” Aku kaget dan sangat khawatir. Selang 15 menit Lia sms “bunda kini ada di ruang ICU”. Astaghfirullah haladziim… apa yang terjadi pada istriku. Segera saya minta izin meninggalkan kantor. Di Rumah Sakit saya dapati Lia menangis sesegukan tak berhenti. “bunda yah… tolongin bunda yahh….!”

Kuhampiri istriku yang tergolek taksadarkan diri. Perawat memasang semua peralatan pada tubuh istriku, entah alat apa saja ini. Kuusap perlahan keningnya, cuek sekali. Tangan dan kakinyapun sangat dingin. Hingga menjelang maghrib saya tak beranjak dari sampingnya. Tak hentinya lisan ini memanjatkan doa. Sementara di luar ruang ICU sudah banyak kerabat berdatangan.

Tekanan darahnya sangat rendah dibawah 70. Dokter memperlihatkan obat penguat tekanan darah dengan takaran tinggi. Tekanan darahnya sempat naik namun masih dikisaran 75-80, sangat rendah. Berkali-kali dokter menyuntikkan obat perangsang namun hasilnya tetap sama tak berubah. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tak menentu, campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan yang amat sangat. Dugaanku benar Dokterpun menyerah.

Melihat kondisinya yang terus menurun ia menyarankan semoga semua alat bantu dilepas saja. “maksudnya dok..?” saya menodong penjelasan. “secara medis kondisi ibu sudah tidak sanggup ditolong lagi, lebih baik kita do’akan saja.” Aku benar-benar lemas mendengarnya seluruh badanku gemetar merinding “benarkah tak ada lagi harapan.” Tiba-tiba saya mencicipi ketakutan yang luar biasa. Aku tak mau menyerah, saya meminta semoga semua alat bantu itu tetap terpasang pada tubuh istriku, sambil menunggu keputusan team dokter besok pagi.

“Aku tak mau kehilanganmu bunda.” Ku pegang berpengaruh jemarinya, “buka matamu bunda sebentar saja, ayah ingin menatap mata bening bunda untuk terakhir kalinya,” kubisikan lembut ditelinganya.
Pukul 22, saya disodori surat pernyataan, tak sempat saya baca, kata suster ini yaitu Surat persetujuan untuk melepas semua alat bantu dari tubuh istriku. “Tak sanggup saya melaksanakan ini bun, saya ingin tetap menatap wajahmu, saya ingin tetap mendampingimu meski dalam ketidakberdayaanmu.”

Akhirnya adikku yang menandatanganinya. Aku tak ingin selalu dihinggapi rasa bersalah bila menandatangani surat itu. Kemudian semua alat bantu dilepas dari tubuh istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung.

“Bun…..inilah yang terbaik yang diberikan Allah buat kita, maafkan ayah bun ayah tak bisa menjaga bunda. Ayah nrimo bunda pergi, ayah terima semua dengan ihklas bun.. Jangan khawatir bun, ayah akan menjaga dan merawat belum dewasa kita,” kubisikan lirih ditelinga istriku.

Kutemui Lia yang menunggu diluar ruang ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia menangis keras sejadi-jadinya, mungkin ia paham apa yang kumaksudkan. “Bundaa….. Lia ga mau kehilangan bunda, jangan tinggalin lia bundaa..!!” Tangisnya memekik, merebut perhatian semua orang diruang tunggu ICU ini. Semua mata menatap kami tapi mereka membisu seolah mahfum dengan keadaan kami.
Dalam setiap rangkaian doaku tak pernah saya mengucapkan kata-kata mengalah “kalo memang hendak Engkau ambil maka mudahkan,” tak pernah saya menyebut kata-kata itu. Aku selalu minta kesembuhan, kesembuhan lantaran saya memang menginginkan istriku benar-benar sembuh.

Sepertinya kini saya harus mengalah dan pasrah “Ya.. Robb bila memang Engkau menentukan jalan lain saya nrimo ya Allah…., mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul khootimah.”
Menurut suster dalam kondisi menyerupai ini pasien masih bisa mendengar. Kubimbing istriku menyebut kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH..” perlahan saya membimbingnya. Rasanya saya mengerti betul setiap helaan nafasnya, raga kami bagai menyatu. Kuulang hingga berkali-kali dengan helaan nafas yang terirama pelan. Dua bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku mencicipi ia sanggup mengikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah..!
Kamis, 15 Mei 2008 …

Aku terbangun ketika tiba-tiba seorang suster memanggil “Keluarga ibu Siti Nurhayati..!” Aku bergegas masuk ke ruang ICU, jam menunjuk Pukul 05.05, masih pagi dengan hawa cuek yang menyusup tulang. “Ma’af pak, ibu sudah tidak ada.” ujar suster tadi singkat. Meski saya tau maksudnya tapi saya masih tak percaya. Kutengok layar monitor yang terhubung ketubuh istriku. Tak ada lagi yang bergerak disana
Bagai tersambar petir, kudekap tubuh lemas istriku. Bibirnya menoreh segaris senyum. “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN.” Aku lunglai terduduk disampingnya tapi tak ada lagi air mata yang keluar. “Bun, Ayah nrimo melepas bunda, Allah telah memilihkan jalan terbaik buat kita.”

Selamat Jalan Istriku…… jemput saya dan belum dewasa nanti di pintu SurgaNya.
Semoga bermanfaat bagi yang membacanya ….
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat …
… Semoga goresan pena ini sanggup membuka pintu hati kita yang telah usang terkunci …”
[Kisah ini disadur kembali oleh Sebarkanlah.com dari Tribunnews]
Advertisement