-->

Ketika Sibuah Hati Hadir Di Tengah Tengah Kita

Ketika Sibuah Hati Hadir Di Tengah Tengah Kita
Ketika Sibuah Hati Hadir Di Tengah Tengah Kita
KETIKA SI BUAH HATI HADIR

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Pembahasan singkat berikut ini yakni beberapa amalan yang disunnahkan untuk dilakukan sesudah anak lahir, namun banyak tidak diamalkan oleh kaum muslimin.

1. Bersyukur kepada Allah.
Apabila sepasang suami isteri telah dikaruniai anak, baik pria maupun perempuan, maka hendaklah keduanya bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kau ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah : 152]

Tidak boleh merasa kecewa atas apa pun keadaan si buah hati, namun hendaklah bersyukur dan bersabar.

2. Mentahnik.
Ketika si buah hati telah dilahirkan, maka seorang ayah hendaknya mentahnik langit-langit ekspresi si bayi dengan buah kurma yang telah dilumatkan.

3. Mendo’akan.
Kemudian do’akanlah buah hati Anda dengan kebaikan dan keberkahan. Misalnya dengan do’a.

بَارَكَ اللهُ فِيْه.ِ

“Semoga Allah memperlihatkan berkah atasnya.”

4. Memberikan nama.
Seorang ayah dibolehkan memperlihatkan nama kepada si buah hati pada dikala ia dilahirkan atau pada hari ketujuh.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Telah dilahirkan bagiku seorang anak laki-laki, kemudian saya membawanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia memberinya nama Ibrahim. Lalu ia mentahniknya dengan sebuah kurma dan mendo’akan keberkahan baginya. Kemudian ia menyerahkannya kembali kepadaku.”[1]

Sangat dianjurkan untuk memperlihatkan nama-nama yang baik, indah dan dicintai Allah Ta’ala bagi si buah hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللهِ: عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ.

“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah yakni ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” [2]

Termasuk nama-nama yang dicintai yakni nama-nama para Nabi dan Rasul. Hal ini menurut balasan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat ihwal nama Harun saudara Maryam, padahal Maryam tidak sezaman dengan Nabi Harun dan Harun saudara Maryam bukanlah Nabi Harun, ia shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ.

“Sesungguhnya mereka biasa menamakan (anak-anak mereka) dengan nama-nama Nabi dan orang-orang shalih yang hidup sebelum mereka.” [3]

5. ’Aqiqah
Kemudian pada hari ketujuh, disunnahkan bagi kedua orang bau tanah untuk meng’aqiqahi anaknya, mencukur rambutnya dan diberikan nama.

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallaahu ‘anhu tolong-menolong Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.

“Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya. Disembelih (kambing) untuknya ada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.”[4]

‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan dan al-Husain pada hari ketujuh.” [5]

‘Aqiqah hanya boleh dengan kambing. Bagi anak pria disembelih dua ekor kambing, sedangkan bagi anak perempuan disembelih seekor kambing.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.

“Bayi pria di’aqiqahi dengan dua ekor kambing dan bayi perempuan dengan seekor kambing.”[6]

Bagi orang bau tanah yang tidak mampu, maka tidak mengapa ber’aqiqah dengan seekor kambing untuk anak laki-laki. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنٍ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.

“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan dengan seekor kambing dan al-Husain dengan seekor kambing.” [7]

Hadits ini shahih. Dari hadits ini, ada ulama yang beropini bahwa ‘aqiqah anak pria yakni dengan seekor kambing sebagaimana anak perempuan. Di antara yang beropini demikian yakni ‘Abdullah bin ‘Umar, Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lainnya.[8]

Jumhur ulama berpegang dengan hadits ‘Aisyah bahwa ‘aqiqah anak pria yakni dengan dua ekor kambing dan ‘aqiqah anak perempuan yakni dengan seekor kambing. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullaah sesudah membawakan kedua hadits di atas beserta hadits-hadits lainnya, ia berkata, “Semua hadits yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara anak pria dan anak perempuan (dalam problem ‘aqiqah).”

Beliau melanjutkan, “Meskipun riwayat Abu Dawud yakni tsabit (shahih), akan tetapi tidak menafikan hadits-hadits shahih lainnya yang menentukan dua ekor kambing bagi anak laki-laki. Maksud hadits itu hanyalah untuk memperlihatkan bolehnya ber’aqiqah dengan seekor kambing bagi anak laki-laki…” [9]

Syaikh Abu Muhammad ‘Isham bin Mar’i berkata, “Hadits tersebut memperlihatkan bolehnya ber’aqiqah dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, walaupun sunnahnya yakni dengan dua ekor kambing sebagai-mana telah dijelaskan pada pecahan sebelumnya. Sunnah ini hanya berlaku bagi orang bau tanah yang tidak bisa melakukannya, alasannya yakni tidak semua orang bau tanah bisa meng’aqiqahi anak laki-lakinya dengan dua ekor kam-bing. Inilah pendapat wasath (pertengahan) yang meng-himpun aneka macam dalil.”[10]

Jenis kelamin kambing ‘aqiqah yakni boleh jantan atau pun betina. Hal ini menurut hadits yang di-riwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2835), at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya.

Persyaratan kambing ‘aqiqah tidak sama dengan kambing kurban. Hal ini yakni pendapat Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani rahimahumullaah.[11]

• Bacaan ketika menyembelih kambing ‘aqiqah
Pertama: Wajib membaca “bismillah” menurut firman Allah Ta’ala.

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ

“Dan janganlah kau memakan dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebutkan Nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan.” [Al-An’aam : 121]

Kedua: Boleh juga dengan membaca.

بِسْمِ اللهِ، اَللهُ أَكْبَرُ.

“Dengan menyebut Nama Allah, Allah Mahabesar.”

‘Aisyah berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sembelihlah dengan menyebut Nama Allah dan ucapkanlah.

بِسْمِ اللهِ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ، هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلاَنٍ.

“Dengan menyebut Nama Allah, Allah Mahabesar. Ya Allah, sembelihan ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ini yakni ‘aqiqah si Fulan.’” [12]

Tidak boleh melumuri kepala bayi dengan darah kambing ‘aqiqah. Perbuatan ini merupakan amalan bid’ah serta perbuatan kaum Jahiliyyah.

Boleh memotong atau mematahkan tulang kambing sembelihan ‘aqiqah, sebagaimana yang lainnya.

Orang bau tanah yang ber’aqiqah boleh makan dagingnya, bersedekah, memberi makan orang lain, atau meng-hadiahkan kepada kaum muslimin.

Boleh membagikan daging yang belum dimasak, akan tetapi yang afdhal (lebih utama) yakni dimasak terlebih dahulu.[13]

Bagi orang cukup umur yang belum di’aqiqahi pada waktu bayinya, tidak ada tuntunan dari syara’ untuk meng’aqiqahi dirinya sendiri. Hal ini alasannya yakni lemahnya hadits yang berkenaan dengan hal tersebut.

6. Mencukur rambut pada hari ketujuh dan bersedekah.
Disunnahkan mencukur rambut secara merata, yaitu digundul (dibotak), kemudian berinfak senilai dengan perak seberat rambutnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah.

اِحْلِقِى رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِوَزْنِ شَعْرِهِ فِضَّةً عَلَى الْمَسَاكِيْنِ.

“Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya kepada orang-orang miskin.” [14]

7. Khitan
Khitan yakni memotong atau daerah memotong kulit yang menutupi kepala dzakar pria dan memotong atau tenpat memotong kulit yang ibarat jengger ayam yang berada di atas farji perempuan (kelentit).[15]

Disyari’atkannya khitan yakni menurut sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: َالإِخْتِتَانُ، وَاْلاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِبِطِ.

“Fitrah itu ada lima hal: khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak.” [16]

Makna fitrah dalam hadits ini yakni sunnah, yakni kelima hal tersebut menjadi sunnahnya para Nabi dan Rasul yang diakhiri dengan kenabian dan kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[17]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah menjelaskan bahwa fitrah ada dua macam: Pertama, fitrah yang berkaitan dengan hati, yaitu ma’rifatullaah (mengenal Allah) dan mencintai-Nya, dan mengutamakan-Nya lebih dari yang selain-Nya. Kedua, fitrah ‘amaliyyah (perbuatan), yaitu hal-hal yang disebutkan di atas.

Maka, yang pertama, ia mensucikan ruh dan mem-bersihkan hati, dan yang kedua membersihkan badan. Dan masing-masing dari keduanya membantu dan menguatkan yang lainnya. Dan fitrah tubuh yang paling pokok yakni khitan. [18]

Imam al-Khaththabi berkata, “Adapun khitan, maka sebagian ulama menyampaikan wajib alasannya yakni ia yakni pecahan dari syi’ar agama, yang dengannya diketahui seorang muslim atas kafir.” [19]

Kewajiban khitan bersifat umum untuk pria dan perempuan menurut banyaknya riwayat ihwal dikhitannya perempuan pada zaman Nabi dan selanjutnya hingga hari ini.

Di antara riwayat yang menyebutkan khitan bagi perempuan yakni sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Atiyah, “Apabila engkau mengkhitan (perempuan), maka potonglah sebagian kelentitnya, janganlah engkau memotong semuanya. Karena yang demikian itu sanggup membaguskan wajah dan lebih baik bagi suami.” [20]

Faedah hadits:
1. Adanya tukang khitan bagi perempuan di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini memperlihatkan bahwa khitan bagi perempuan pada zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yakni suatu kelaziman dan keharusan.

2. Hadits di atas memperlihatkan bahwa khitan bagi perempuan telah dikenal di kalangan Salaf sebagai-mana diterangkan Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (II/344-349, hadits no. 722).

Mengenai waktu mengkhitan bayi tidak ada satu dalil pun yang shalih dan sharih (jelas) yang menentukan waktunya dengan pasti. Sebagian ulama beropini ihwal disukainya mengkhitan anak pria sebelum berusia tujuh tahun. Hal ini menurut pada perintah syari’at biar menyuruh anak kecil untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun.

Imam al-Mawardi rahimahullaah berkata, “Khitan mempunyai dua waktu; waktu yang wajib dan waktu yang mustahab (dianjurkan). Adapun waktu yang wajib yakni ketika sudah baligh dan waktu yang mustahab yakni sebelum baligh, dan boleh menentukan pada hari ketujuh dari kelahirannya. Dan dianjurkan biar tidak mengakhirkan dari waktu yang mustahab, kecuali alasannya yakni ada udzur.”[21]

Ini untuk waktu khitan bagi anak laki-laki, sedang-kan bagi anak perempuan biasanya dilakukan beberapa sesudah kelahirannya.[22]

Apabila seorang pria atau perempuan belum dikhitan hingga cukup umur alasannya yakni tidak mengetahui aturan wajibnya atau keduanya gres masuk Islam, maka keduanya tetap berkewajiban untuk berkhitan. Ini yakni balasan seluruh mahir ilmu.[23]

Beberapa manfaat khitan: [24]

1. Mengikuti Sunnah para Nabi dan Rasul.
2. Khitan merupakan syi’ar Islam yang agung.
3. Khitan sebagai pembeda antara muslim dan kafir.
4. Khitan sebagai kebersihan dari kotoran dan najis.
5. Khitan pada perempuan yang dilakukan sesuai Sunnah sanggup menstabilkan syahwatnya, mempercantik wajah, dan terhormat di sisi suaminya.

[Disalin dari buku Bingkisan spesial Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5467, 6198) dan Muslim (no. 2145), dari Shahabat Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Tuhfatul Mauduud (hal. 168).
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2132) dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2135), dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu.
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2838), at-Tirmidzi (no. 1522), an-Nasa-i (VII/166), Ibnu Majah (no. 3165), dan lainnya. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1165).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (no. 4521), Ibnu Hibban (no. 1056 -al-Mawaarid), al-Hakim (IV/237). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (IV/379-381).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/31, 158, 251), at-Tirmidzi (no. 1513), Ibnu Majah (no. 3163), al-Baihaqi (IX/301), Ibnu Hibban (no. 5286—Ta’liiqatul Hisaan), ‘Abdurrazzaq (no. 7955, 7956), dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1166) dan Tuhfatul Mauduud (hal. 136-137) tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2841), Ibnu Jarud (no. 912) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 11856).
[8]. Lihat al-Muwaththa’ Imam Malik (II/501-502) dan Ahkamul ‘Aqiiqah (hal. 33-34).
[9]. Fat-hul Baari Syarh Shahiih al-Bukhari (IX/592).
[10]. Ahkamul ‘Aqiiqah (hal. 34-35)
[11]. Lihat Ahkamul ‘Aqiiqah (hal. 41-44).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 4504) dan al-Baihaqi (IX/303-304). Hadits ini dibawakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Mauduud fi Ahkaamil Mauluud (hal. 153), tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali. Hadits ini lemah alasannya yakni di dalam sanadnya terdapat Ibnu Juraij, sedangkan ia yakni seorang mudallis.
[13]. Lihat Ahkamul ‘Aqiqah (hal. 47-53).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/390, 392) dan al-Baihaqi (IX/304). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1175) dan Tuhfatul Mauduud (hal. 159-163).
[15]. Lihat Tuhfatul Maudud (hal. 257-258) dan Fat-hul Baari (X/340).
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5891, 6297), Muslim (no. 257), Abu Dawud (no. 4198), at-Tirmidzi (no. 2756), an-Nasa-i (I/13-14), Ibnu Majah (no. 292) dan Ahmad (II/229, 239, 410, 489)
[17]. Fat-hul Baari (X/339).
[18]. Tuhfatul Mauduud (hal. 269).
[19]. Tuhfatul Mauduud (hal. 278-279), Fat-hul Baari (X/342), al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (I/300).
[20]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Taarikhnya (V/327). Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 722).
[21]. Lihat Fat-hul Baari (X/342).
[22]. Lihat Tuhfatul Mauduud (hal. 301-308).
[23]. Lihat Tuhfatul Mauduud (hal. 327-333).
[24]. Lihat Tuhfatul Mauduud fi Ahkamil Maulud (hal. 309-315), oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.

Sumber: https://almanhaj.or.id/1191-ketika-si-buah-hati-hadir.html
Advertisement