-->

Meet The Makers Ke 11: Regenerasi Tradisi Dan Budaya Melalui Produk Kerajinan

Meet The Makers Ke 11: Regenerasi Tradisi Dan Budaya Melalui Produk Kerajinan
Meet The Makers Ke 11: Regenerasi Tradisi Dan Budaya Melalui Produk Kerajinan


Pameran produk pengrajin dari seluruh Indonesia berjulukan Meet The Makers merupakan pekan raya yang diadakan setahun sekali dan untuk yang kesepuluh kalinya bertempat di Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia Mall (sekali diadakan di Bali). Tahun ini, Meet The Makers yang kesebelas (11) mengambil tema “Regenerasi” yang artinya meregenerasi produk pengrajin lokal untuk sanggup melihat rangkaian sejarah dan nilai budaya dari suatu produk melalui tangan-tangan pengrajin.
 
docpri
Pingky S. - docpri

Pingky Sudarman selaku CEO dari PT.Alun-alun Indonesia setuju dengan hal tersebut. “Ini saatnya melaksanakan regenerasi untuk terus menumbuhkan kecintaan anak muda terhadap produk Indonesia yang tak lekang ditelan zaman,” ujar Pingky. Budaya dan tradisi di Indonesia itu bermacam-macam dari setiap penjuru nusantara. Jika tak memungkinkan tiba ke wilayahnya langsung sanggup dengan membeli produknya di Alun-alun Grand Indonesia lantai 3.

Pada 21 Oktober kemudian blogger diundang dalam konferensi persnya dan bertemu langsung dengan para artisan, keluarga dari merk Pekunden, dan juga ibu Genvieve seorang antropolog Perancis yang bahagia dengan produk kerajinan Indonesia. Sebanyak 16 pengrajin/seniman/artisan dalam Meet The Makers berkumpul selama 12 hari di Jakarta untuk menjual hasil karya mereka langsung kepada masyarakat, tepatnya dari tanggal 21 Oktober sampai 2 November 2016. Artisan yang ikut pekan raya Meet The Makers kali ini ialah WIRU, LAWE, Marenggo Natural Dyes, Cinta Bumi Artisan, Borneo Chic, Batik Rifayah, Brahma Tirta Sari, Gerai Nusantara, Komunitas Tenun Mama Aleta Baun, Kanwinda, Pekunden, Tafean Pah, Omah Batik Sekar Turi, Indonesian Heritage Society, Keramik Bayat dan Sayu.
 
Para Artisan Meet The Makers 11 - docpri
Produk Borneo Chick - docpri
Keramik Bayat - docpri

Aku melihat proses pembuatan Keramik Bayat sehabis konferensi pers. Keramik Bayat dengan teknik putar miring merupakan teknik pembuatan keramik tertua dari Desa Pegerjurng Meliakan Medi, Bayet, Klaten. Desa tersebut sudah semenjak usang dikenal sebagai pengrajin keramik gabah. Keramik yang dihasilkan polosan, cenderung warna tanah tetapi berpengaruh bahannya. Susah-susah simpel untuk mempelajarinya.Hadir dua pengrajin ketika jadwal untuk menunjukkan cara teknik miring pembuatan keramik bayat.
 


Yang Muda yang Inspiratif dari Marenggo Natural Dyes
Aku tertarik dengan kehadiran wanita muda mengenakan baju batik warna kuning dan dan abu-abu muda dan berkerudung putih polos ini berani menunjukkan karyanya ketika itu. Berkenalanlah saya dengannya, namanya Nuri Ningsih Hidayati atau biasa dipanggil Nuri saja. Usianya terbilang muda, yaitu 24 tahun dan ibunya Nuri yang memperkenalkan batik kepada dirinya. Nuri termasuk generasi ketiga dalam keluarganya sehabis nenek dan ibunya yang juga merupakan pengrajin batik di kota, Yogyakarta.

Awal berguru membatik Nuri ternyata pernah mematahkan canting tapi itu tidak menciptakan Nuri patah semangat. Nuri akibatnya tetapkan mengambil jadwal studi Disain dan Produksi Kria Tekstil ketika di Sekolah Menengah kejuruan Negeri 5 Yogya dan melanjutkan ke Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Nuri dan produk Marenggo - docpri

Dijelaskan oleh Nuri bahwa Marenggo merupakan produk batik yang memakai materi baku pewarna alami dari aneka macam tumbuhan, antara lain daun mangga, daun rambutan, kayu mahoni, kayu nangka, daun talok, daun sawo, daun jambu, daun ketapang, daun marenggo itu sendiri, kesumba, kayu jati, kayu tinggi, kayu jowale, kayu secang, tegeran, jambal, benguk, kulit manggis, sampai gambir. Warna alam, berdasarkan Nuri, tidak sanggup menyamai warna sintetis sehingga terkesan eksklusif. ”Alasan lainnya alasannya ialah warna alam tidak berbahaya untuk kesehatan kulit,” kata Nuri.
 
Batik Marenggo Natural Dyes - docpri
Di Alun-alun Grand Indonesia Nuri turut mempromosikan produknya dan terlihat ada satu batik yang dipasanng sendiri berukuran 250 cm. Batik itu Istimewa diantara batik Morenggo lainnya dengan kombinasi nuansa Jepang dan Yogya, membutuhkan proses satu bulan lamanya untuk jadi cantik. Selain mendesain batik dengan motif bergaya Jepang, Nuri tetap menciptakan batik yang mengombinasikan motif modern dengan motif tradisional, ibarat kawung, ceplok, dan parang.

Motif batik yang pernah didesain oleh Nuri antara lain motif ceplok ornamentik rumah watak Nusantara yang berisi semua rumah watak yang ada di Indonesia dan ragam hias setiap daerah, motif pakaian watak Nusantara, motif walang sinanding jati mas yang kemudian dipakai sebagai seragam PNS di Wonosari, Gunung Kidul, dan lainnya.

Nuri sekarang memiliki showroomnya sendiri di Yogya dan sudah mempekerjakan empat orang anak muda yang memiliki minat dalam membatik di ruang workshopnya di Yogya juga. Nuri juga menawarkan pelajaran membatik dengan pewarna alam bagi para ibu di daerah pedesaan Sleman, upayanya itu menerima pinjaman dari pemerintah setempat. ”Pemberdayaan ini juga nantinya diperlukan sanggup bersinergi dengan saya dalam memproduksi batik,” kata Nuri.

Nuri juga terus berinovasi dengan motif gres dan materi pewarna alami lainnya. Tetap semangat juga untuk mengajak belum dewasa muda mempelajari batik alasannya ialah sebuah produk pengrajin lokal yang memiliki keindahan sarat tradisi dan budaya itu harus dilestarikan. Sesuai dengan tema Meet The Makers 11 – Regenerasi, pengetahuan dan ilmu harus terus diturunkan melalui sebuah produk yang sanggup bermanfaat untuk orang banyak.

Kita perlu berbangga sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan tradisi dan budaya. Cintailah produk negeri sendiri sama saja artinya melestarika kebudayaan sendiri. Terima kasih juga kepada ALun-alun Indonesia yang sudah menawarkan wadah kepada para pengrajin untuk sanggup berada di Jakarta dan menawarkan voucher untuk membeli produk kerajinan yang ada.  –RGP-




Advertisement