Untuk kau yang tinggal di dalam wilayah jangkauan SBS FM niscaya kenal Surat Biru. Sebuah kegiatan unggulan dengan segmen pendengar remaja hingga dewasa. Program ini disiarkan pada malam hari, menjelang tidur. Ketika pendengar sudah mapan di kasur, seorang penyiar cewek akan membacakan surat-surat biru yang masuk ke redaksi SBS.
Kamu dengan saksama mendengarkan tiap kata yang dibacakan. Mayoritas kisah dalam surat biru itu ialah perihal percintaan yang mengharu. Kisah cinta yang sedih. Yang membuatmu meneteskan air mata. Bukan hanya kamu, penyiar radionya pun ikutan nangis. Karena memang murung banget.
Sayangnya kegiatan surat biru ini sudah nggak terang kapan disiarkannya. Mungkin sudah tiada. Padahal sangat bagus untuk didengarkan. Menambah wawasan perihal aneka macam kemungkinan yang terjadi ketika seorang insan menjalin kekerabatan percintaan.
Untuk mengobati rindumu pada Surat Biru. Berikut ini ialah surat biru terbaru. Yang ditulis oleh seseorang untuk kekasihnya. Mereka menjalin kekerabatan jarak jauh (LDR) antar pulau. Ceweknya di Kalimantan, sedangkan cowoknya di Sumatera. Mereka ketemunya pas sama-sama kerja di Jawa. Yang nulis surat ini pihak Ceweknya. Cekidot!
Dear Surat Biru
Telah usang saya ingin menulis surat ini. Untuk mencurahkan isi hatiku. Yang semakin hari terasa semakin berat. Sesak... penuh dengan beban pikiran. Aku bergotong-royong bukan tipe orang yang suka mempermasalahkan sesuatu. Tapi kali ini, kurasa ini duduk kasus besar.
Surat Biru... saya punya seorang kekasih. Dia ialah teman kerjaku sewaktu di Jawa dulu. Kami hingga bulan kemudian masih pacaran. Tapi mendadak semua berubah. Hubungan berakhir, alasannya ia menikah. Jangan bertanya ia menikah dengan siapa. Yang terang bukan denganku.
Apa ia mengkhianatiku? Setelah usaha selama bertahun-tahun. Tentu masih ingat awal tahun ini, kami harus berpisah alasannya saya mesti pulang ke kampung. Ayahku di Kalimantan meninggal. Aku ditarik pulang, alasannya Ibu di sana sendirian. Harus mengurus kebun kelapa sawit dan sayuran kami.
Untuk kekasihku, tentu kau masih ingat mengapalah saya tiba ke Jawa. Mengapalah saya seorang diri mesti merantau jauh-jauh ke kota lautan api. Karena saya ingin belajar. Aku ingin melihat dunia. Aku ingin menemukan keindahan di bumi nirwana sana. Yang konon banyak gunung, dengan bunga-bunga cantik.
Kita bertemu dengan misi yang sama. Hendak kau bawa Ikebana, kesenian merangkai bunga, ke tanahmu di Minang sana. Sedang saya ingin membawa pulang ilmu ini ke tanahku di Kutai. Kita sama-sama belajar. Berguru pada guru yang sama.
Tentu kau masih ingat, dikala guru meminta kita menemukan sebuah bunga keabadian. Kita berkelana satu bulan, keliling Pulau Jawa. Dari satu kota ke kota lainnya. Dari satu desa ke desa lainnya. Semuanya aneh buat kita yang bukan orang Jawa. Tapi kita bersatu, berjuang bersama, melewati ujian awal ini. Agar kita diterima menjadi murid Master Ikebana.
Kita sampailah di sebuah dataran tinggi. Nun jauh di Dieng sana. Kita menemukan sebuah hamparan bunga. Yang wanginya khas, menghujam dada. Orang menyebutnya Bunga Keabadian. Ia ialah Edelweis yang kekal. Apa kau masih ingat? Dua kepal Edelweis, Bunga Keabadian berhasil kita temukan. Bersama.
Tapi kata Master itu salah. Itu bukanlah Bunga Keabadian. Maka kita berkelana lagi, sepekan lamanya. Hingga Pulau Bali. Ya, Pulau Bali ialah saksi bagaimana balasannya kita terjerat cinta lokasi. Demi mendapatkan tiket menjadi murid merangkai bunga dari Master Ikebana.
Di sana, kita mendapatkan wawasan dari seorang Pandhita bahwa Bunga Keabadian bukanlah Edelweiss, melainkan Anahata. Sebuah bunga yang terletak di dada. Yang memancarkan kasih sayang. Sebuah bunga yang menjadi sentra dari cinta.
Ya, ternyata Master meminta kita menemukan Cinta. Karena hanya dengan Cinta. Kita bisa merangkai bunga. Karena hanya dengan cinta. Seonggok bunga yang sudah tercabut dari akarnya, bisa tetap hidup, membawa pesan tenang maupun lelayu.
Sebagai lulusan dari Sekolah Ikebana, mungkin saya terlalu tega. Tidak mengirimimu buket ucapan "selamat menempuh hidup baru, selamat menikah" lengkap dengan namamu dan pengantinmu. Aku terlalu tega, iya kan?
Bagaimana bisa buketmu yang indah ini. Yang telah mengarungi perjalanan menembus rimba Borneo. Melintasi jurang-jurang mengerikan, sama sekali tidak berbalas. Aku tahu kau di sana sedih. Tapi saya di sini hancur. Bagaimana mungkin saya membalas buket lelayu yang kau kirimkan ini?
Bagaimana kau tega sekali mengirim bunga semacam ini padaku? Kau putuskan saya dengan cara begini? Untuk apa kau rangkai Edelweiss dengan Melati dan Teratai. Rangkaian bunga macam apa ini. Kau tahu ini sangat buruk. Selera yang buruk. Kuhargai buketmu 1 dollar dengan kurs sekarang.
Aku ingin murka pada caramu memberikan kabar. Dunia sudah canggih. Mengapalah kau putuskan saya dan kirim kabar lelayu ijab kabul dengan cara begini? Apa kau pikir saya akan tersenyum? Tidak, tidak sama sekali.
Aku hancur lebur.
Semua sudah berakhir... Terima kasih atas mimpi-mimpi indah kita. Selamat menempuh hidup baru. Aku tidak tahu bagaimana caraku bangkit. Aku tidak tahu bagaimana saya akan tetap bertahan di sini. Tapi... selamat... selamat alasannya kau ialah anak yang baik. Kamu lebih menentukan dia, daripada aku. Kamu lebih ikuti perjodohan ini, daripada pergi mengejarku.
Tapi sayangku... Ah... Mantan sayangku. Aku tahu makna dari setiap bunga yang kau kirimkan. Aku memang harus menjadi ibarat Edelweiss, supaya saya berpengaruh jalani hidup ini. Meski topan dan masbodoh menerpa. Aku harus tetap suci ibarat Melati, supaya kelak harumku bisa mengantarku pada jodoh terbaik. Dan saya harus bijaksana ibarat teratai, dalam mendapatkan perkawinanmu dengan orang lain ini.
Aku tahu... semoga Tuhan senantiasa melindungimu di sana. Menjadikan rumah tanggamu senang dunia akhirat. Sekali lagi, selamat! Aku minta maaf, saya terlalu lemah untuk membalas suratmu yang dikirim melalui buket itu. Selamat jalan, mantan kekasihku!Begitulah surat biru yang ditulis oleh seorang gadis, kepada kekasihnya yang jauh di pulau seberang. Dari surat di atas, kau bisa menangkap kisah pahit. Yang dialami seorang perempuan. Hanya selang beberapa bulan sesudah kepulangannya ke kampung halamannya di Kutai Kalimantan. Ia mendapatkan gosip lelayu soal ijab kabul kekasihnya.
Kekasihnya yang benar-benar masih berstatus pacar, tiba-tiba mengirim buket bunga. Lengkap dengan permintaan ijab kabul dan surat pemberitahuan bahwa ia dijodohkan. Ia pulang ke Minang. Dan terpaksa mengikuti perjodohan ini. Demi orang tuanya.
Dari surat di atas, sang gadis bercerita bahwa ia dan mantan kekasihnya dulu sama-sama merantau ke Jawa untuk mencar ilmu di Sekolah Ikebana, sebuah sekolah merangkai bunga. Mereka mencar ilmu pada seorang guru yang disebut Master. Ujian masuk ke sekolah itu ialah mereka harus menemukan Bunga Keabadian.
Banyak kisah sudah dilalui bersama. Mereka berkelana keliling Jawa dan Bali untuk menemukan bunga ini. Mereka pikir bunga ini ialah Edelweiss, ternyata bukan. Dan ternyata bunga keabadian ialah Anahata. Sebuah bunga spiritual yang terletak di dada. Pusat dari cinta.
Memang apa yang dialami gadis itu tragis. Ia dan kekasihnya mungkin mempunyai mimpi-mimpi besar. Untuk hidup bersama. Untuk suatu hari mempunyai kebun bunga bersama. Lengkap dengan tokonya. Tinggal sedikit lagi usaha mereka untuk menikah. Tapi, balasannya batal alasannya perjodohan. Apa kau pernah sanggup pengalaman ibarat mereka?
Buat kau yang sudah lama-lama menjalin hubungan. Kemudian harus LDR alasannya suatu hal. Lalu balasannya harus putus dengan cara tragis. Kamu harus kuat, ya! Seperti gadis itu yang pada balasannya mendapatkan dirinya diputusin. Dia balasannya mendapatkan kenyataan bahwa kekasihnya menikah dengan orang lain. Semua sudah diatur oleh Tuhan.
vebma.com
Kamu dengan saksama mendengarkan tiap kata yang dibacakan. Mayoritas kisah dalam surat biru itu ialah perihal percintaan yang mengharu. Kisah cinta yang sedih. Yang membuatmu meneteskan air mata. Bukan hanya kamu, penyiar radionya pun ikutan nangis. Karena memang murung banget.
Sayangnya kegiatan surat biru ini sudah nggak terang kapan disiarkannya. Mungkin sudah tiada. Padahal sangat bagus untuk didengarkan. Menambah wawasan perihal aneka macam kemungkinan yang terjadi ketika seorang insan menjalin kekerabatan percintaan.
Untuk mengobati rindumu pada Surat Biru. Berikut ini ialah surat biru terbaru. Yang ditulis oleh seseorang untuk kekasihnya. Mereka menjalin kekerabatan jarak jauh (LDR) antar pulau. Ceweknya di Kalimantan, sedangkan cowoknya di Sumatera. Mereka ketemunya pas sama-sama kerja di Jawa. Yang nulis surat ini pihak Ceweknya. Cekidot!
Dear Surat Biru
Telah usang saya ingin menulis surat ini. Untuk mencurahkan isi hatiku. Yang semakin hari terasa semakin berat. Sesak... penuh dengan beban pikiran. Aku bergotong-royong bukan tipe orang yang suka mempermasalahkan sesuatu. Tapi kali ini, kurasa ini duduk kasus besar.
Surat Biru... saya punya seorang kekasih. Dia ialah teman kerjaku sewaktu di Jawa dulu. Kami hingga bulan kemudian masih pacaran. Tapi mendadak semua berubah. Hubungan berakhir, alasannya ia menikah. Jangan bertanya ia menikah dengan siapa. Yang terang bukan denganku.
Apa ia mengkhianatiku? Setelah usaha selama bertahun-tahun. Tentu masih ingat awal tahun ini, kami harus berpisah alasannya saya mesti pulang ke kampung. Ayahku di Kalimantan meninggal. Aku ditarik pulang, alasannya Ibu di sana sendirian. Harus mengurus kebun kelapa sawit dan sayuran kami.
Untuk kekasihku, tentu kau masih ingat mengapalah saya tiba ke Jawa. Mengapalah saya seorang diri mesti merantau jauh-jauh ke kota lautan api. Karena saya ingin belajar. Aku ingin melihat dunia. Aku ingin menemukan keindahan di bumi nirwana sana. Yang konon banyak gunung, dengan bunga-bunga cantik.
Kita bertemu dengan misi yang sama. Hendak kau bawa Ikebana, kesenian merangkai bunga, ke tanahmu di Minang sana. Sedang saya ingin membawa pulang ilmu ini ke tanahku di Kutai. Kita sama-sama belajar. Berguru pada guru yang sama.
Tentu kau masih ingat, dikala guru meminta kita menemukan sebuah bunga keabadian. Kita berkelana satu bulan, keliling Pulau Jawa. Dari satu kota ke kota lainnya. Dari satu desa ke desa lainnya. Semuanya aneh buat kita yang bukan orang Jawa. Tapi kita bersatu, berjuang bersama, melewati ujian awal ini. Agar kita diterima menjadi murid Master Ikebana.
Kita sampailah di sebuah dataran tinggi. Nun jauh di Dieng sana. Kita menemukan sebuah hamparan bunga. Yang wanginya khas, menghujam dada. Orang menyebutnya Bunga Keabadian. Ia ialah Edelweis yang kekal. Apa kau masih ingat? Dua kepal Edelweis, Bunga Keabadian berhasil kita temukan. Bersama.
Tapi kata Master itu salah. Itu bukanlah Bunga Keabadian. Maka kita berkelana lagi, sepekan lamanya. Hingga Pulau Bali. Ya, Pulau Bali ialah saksi bagaimana balasannya kita terjerat cinta lokasi. Demi mendapatkan tiket menjadi murid merangkai bunga dari Master Ikebana.
Di sana, kita mendapatkan wawasan dari seorang Pandhita bahwa Bunga Keabadian bukanlah Edelweiss, melainkan Anahata. Sebuah bunga yang terletak di dada. Yang memancarkan kasih sayang. Sebuah bunga yang menjadi sentra dari cinta.
Ya, ternyata Master meminta kita menemukan Cinta. Karena hanya dengan Cinta. Kita bisa merangkai bunga. Karena hanya dengan cinta. Seonggok bunga yang sudah tercabut dari akarnya, bisa tetap hidup, membawa pesan tenang maupun lelayu.
Sebagai lulusan dari Sekolah Ikebana, mungkin saya terlalu tega. Tidak mengirimimu buket ucapan "selamat menempuh hidup baru, selamat menikah" lengkap dengan namamu dan pengantinmu. Aku terlalu tega, iya kan?
Bagaimana bisa buketmu yang indah ini. Yang telah mengarungi perjalanan menembus rimba Borneo. Melintasi jurang-jurang mengerikan, sama sekali tidak berbalas. Aku tahu kau di sana sedih. Tapi saya di sini hancur. Bagaimana mungkin saya membalas buket lelayu yang kau kirimkan ini?
Bagaimana kau tega sekali mengirim bunga semacam ini padaku? Kau putuskan saya dengan cara begini? Untuk apa kau rangkai Edelweiss dengan Melati dan Teratai. Rangkaian bunga macam apa ini. Kau tahu ini sangat buruk. Selera yang buruk. Kuhargai buketmu 1 dollar dengan kurs sekarang.
Aku ingin murka pada caramu memberikan kabar. Dunia sudah canggih. Mengapalah kau putuskan saya dan kirim kabar lelayu ijab kabul dengan cara begini? Apa kau pikir saya akan tersenyum? Tidak, tidak sama sekali.
Aku hancur lebur.
Semua sudah berakhir... Terima kasih atas mimpi-mimpi indah kita. Selamat menempuh hidup baru. Aku tidak tahu bagaimana caraku bangkit. Aku tidak tahu bagaimana saya akan tetap bertahan di sini. Tapi... selamat... selamat alasannya kau ialah anak yang baik. Kamu lebih menentukan dia, daripada aku. Kamu lebih ikuti perjodohan ini, daripada pergi mengejarku.
Tapi sayangku... Ah... Mantan sayangku. Aku tahu makna dari setiap bunga yang kau kirimkan. Aku memang harus menjadi ibarat Edelweiss, supaya saya berpengaruh jalani hidup ini. Meski topan dan masbodoh menerpa. Aku harus tetap suci ibarat Melati, supaya kelak harumku bisa mengantarku pada jodoh terbaik. Dan saya harus bijaksana ibarat teratai, dalam mendapatkan perkawinanmu dengan orang lain ini.
Aku tahu... semoga Tuhan senantiasa melindungimu di sana. Menjadikan rumah tanggamu senang dunia akhirat. Sekali lagi, selamat! Aku minta maaf, saya terlalu lemah untuk membalas suratmu yang dikirim melalui buket itu. Selamat jalan, mantan kekasihku!Begitulah surat biru yang ditulis oleh seorang gadis, kepada kekasihnya yang jauh di pulau seberang. Dari surat di atas, kau bisa menangkap kisah pahit. Yang dialami seorang perempuan. Hanya selang beberapa bulan sesudah kepulangannya ke kampung halamannya di Kutai Kalimantan. Ia mendapatkan gosip lelayu soal ijab kabul kekasihnya.
Kekasihnya yang benar-benar masih berstatus pacar, tiba-tiba mengirim buket bunga. Lengkap dengan permintaan ijab kabul dan surat pemberitahuan bahwa ia dijodohkan. Ia pulang ke Minang. Dan terpaksa mengikuti perjodohan ini. Demi orang tuanya.
Dari surat di atas, sang gadis bercerita bahwa ia dan mantan kekasihnya dulu sama-sama merantau ke Jawa untuk mencar ilmu di Sekolah Ikebana, sebuah sekolah merangkai bunga. Mereka mencar ilmu pada seorang guru yang disebut Master. Ujian masuk ke sekolah itu ialah mereka harus menemukan Bunga Keabadian.
Banyak kisah sudah dilalui bersama. Mereka berkelana keliling Jawa dan Bali untuk menemukan bunga ini. Mereka pikir bunga ini ialah Edelweiss, ternyata bukan. Dan ternyata bunga keabadian ialah Anahata. Sebuah bunga spiritual yang terletak di dada. Pusat dari cinta.
Memang apa yang dialami gadis itu tragis. Ia dan kekasihnya mungkin mempunyai mimpi-mimpi besar. Untuk hidup bersama. Untuk suatu hari mempunyai kebun bunga bersama. Lengkap dengan tokonya. Tinggal sedikit lagi usaha mereka untuk menikah. Tapi, balasannya batal alasannya perjodohan. Apa kau pernah sanggup pengalaman ibarat mereka?
Buat kau yang sudah lama-lama menjalin hubungan. Kemudian harus LDR alasannya suatu hal. Lalu balasannya harus putus dengan cara tragis. Kamu harus kuat, ya! Seperti gadis itu yang pada balasannya mendapatkan dirinya diputusin. Dia balasannya mendapatkan kenyataan bahwa kekasihnya menikah dengan orang lain. Semua sudah diatur oleh Tuhan.
vebma.com
Advertisement