Sungguh aneh di negeri ini. Guru honorer disebut ilegal, dianggap guru tidak sah. Dianggap guru kelas dua atau guru pelengkap yang bisa disepelekan. Namun saat para guru “ilegal” ini mau mogok banyak pihak yang melarang. Terutama para penguasa daerah, birokrat pendidikan bahkan beberapa kepala sekolah.
Mogok adalah sebuah perjuangan pasif yang dilakukan para guru. Mereka tidak berangkat ke tempat kerja, melainkan diam di rumah. Refleksi diri, merenungi nasib diri, nasib bangsa dan beraktifitas di rumah. Beda dengan demo. Demo adalah sebuah perjuangan melalui gerakan kekuatan masa di ruang terbuka dengan segala perlengkapannya.
Demo bisa melahirkan gangguan fasilitas publik. Merepotkan pihak keamanan. Menyebabkan sejumlah sampah dan menggangu ketertiban umum. Bahkan bisa disusupi para provokator. Gerakan mogok adalah gerakan pasif yang menjelaskan pesan “kode keras” pada berbagai pihak. Mogok adalah perlawanan diam. Ini mengingtkan pada sosok bijak Gandhi di India.
Mogok para guru honorer memberikan pesan bahwa guru honorer adalah bagian penting negeri ini. Hampir tidak ada sekolah tanpa guru honorer. Jutaan anak akan terabaikan bila honorer mogok. Ratusan ribu sekolahan akan menjadi bangunan hantu tanpa guru honorer. Guru honorer adalah penyagga dan bagian dari penentu sukses pendidikan.
Hampir semua guru, guru besar, dosen bahkan Sekertaris Jenderal Kementrian Pendidikan saat ini berawal dari seorang tenaga honorer. Hanya TNI, polisi, kepala daerah dan Gubernur tidak ada yang honorer. Tidak ada TNI honorer, polisi honorer, walikota honorer, gubernur honorer dan presiden honorer. Dan mereka semua bisa terlahir dari jasa guru honorer.
Keluarnya PermenPANRB Nomor 36 Tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS Tahun 2018. PP No 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen PNS, Pasal 23 (1) Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. usia paling rendah 18 (delapan belas) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat melamar.
Regulasi di atas bagi para GTK dan guru honorer telah memangkas harapan dan mimpi menjadi PNS. Padahal ketabahan dan dedikasi bertahun-tahun melayani anak bangsa bisa bertahan diataranya karena ada harapan menjadi PNS. Harapan menjadi PNS adalah harapan wajar dan manusiawi. Termasuk mogok adalah sebuah gerakan yang wajar dan nalar karena merasa dibuntukan dari mimpi menjadi PNS.
Realitasnya guru honorer seperti dipotong usianya, dilarang mogok, terlarang mendapatkan SK kepala daerah. Aneh memang, mogok dilarang, SK dilarang tetapi kerjanya diwajibkan. Kewajiban dengan hak tidak sejalan. Bila para guru honorer dianggap tak bermanfaat maka mereka mencoba mogok. Mogok adalah sebuah refleksi bagi para guru honorer.
Apakah dirinya dibutuhkan? Apakah para guru honorer bermanfaat ? Apakah guru honorer adalah “sampah pendidik” atau mereka sudah tidak dibutuhkan? Melihat stigma guru ilegal, SK dilarang, usia dipotong, seolah menjelaskan guru honorer tidak bermanfaat. Namun saat mogok dilakukan semua menjadi heboh. Mogok seminggu, sebulan adalah hak para guru honorer.
Idealnya tidak ada mogok. Idealnya tidak ada “pelecehan” dan perendahderajatan harga diri guru honorer. Idealnya ada SK kepala daerah. Idealnya bagi guru honorer batas usia CPNS 50 tahun. Idealnya para guru honorer lebih “dimanja” oleh para kepala daerah dan pemerintah. Mengapa? Karena kinerja mereka tidak terbayarkan oleh negara.
Advertisement