Pentingnya Trust dalam Menyusun Peraturan Sekolah
Pada suatu ketika, saya menghadiri rapat orangtua siswa dengan pihak sekolah di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Kota Banjar. Pada pertemuan itu dibahas peraturan disiplin baru bagi siswa. Peraturan itu berisi puluhan larangan bagi siswa, mulai dari larangan makan sambil berjalan sampai larangan berbuat sesuatu yang dianggap melecehkan seksual. Di samping itu, aturan baru itu dibuat amat rinci dengan memuat skor pelanggaran yang bervariasi untuk menentukan sanksi yang dijatuhkan.
Dalam pandangan saya, filosofi peraturan itu berangkat dari ketidakpercayaan (distrust) kepada siswa dan mengasumsikan bahwa siswa punya potensi destruktif dan, oleh karena itu, harus diatur sejumlah larangan dan sanksi yang diharapkan mampu membatasi siswa melakukan perbuatan yang dianggap negatif.
Dasar filosofi aturan sekolah ini mirip dengan hampir semua aturan di negeri ini, di semua level, baik perusahaan, birokrasi, maupun peraturan pemerintah dimana ketidakpercayaan dan kecurigaan kepada pekerja, pegawai, atau masyarakat menjadi roh yang dominan.
Bagi saya, peraturan untuk membangun kondisi yang baik dan positif di sekolah harus mulai dari cara kita membangun trust (kepercayaan) dengan pikiran positif tentang subjek yang akan kita atur. Saya percaya bahwa pikiran positif akan menarik orang, momentum, dan peristiwa yang positif pula. Oleh karena itu, landasan filosofis aturan disiplin baru di sekolah itu harus dirombak ulang sedemikian rupa sehingga aturan itu disemangati oleh kepercayaan kepada anak. Aturan itu seharusnya disusun dengan kerangka berpikir yang positif (husnudzon) dimana anak dipandang sebagai entitas yang memiliki potensi untuk berbuat baik dan bertindak positif.
Sebagai ilustrasi, saya meminjam perspektif hypnoterapi untuk menjelaskan hal ini. Menurut perspektif ini, output pikiran sadar yang mendorong perilaku kita sehari-hari dituntun oleh apa yang mengendap dalam pikiran bawah sadar. Adapun pikiran bawah sadar ditentukan oleh input yang kita cerna sehari-hari dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, kalau kita meng-input hal-hal positif dalam pikiran bawah sadar, maka output (sikap, kata, dan perbuatan) sadar kita akan terdorong ke arah yang positif. Demikian pula sebaliknya.
Jika aturan yang baru itu berniat menegakkan kebaikan di sekolah, maka aturan yang dibuat bukanlah menyusun sejumlah perbuatan negatif yang tidak boleh dilakukan, tetapi merumuskan sejumlah sikap, kata, dan perbuatan positif, lalu mendorong siswa untuk membaca, menghayati, dan mempraktikkan aturan positif itu dalam aktivitas sehari-hari di sekolah. Pemberian reward menjadi instrumen penting untuk membangun ketaatan dalam pengamalan peraturan sekolah tersebut. Model aturan semacam ini mampu merangsang siswa untuk selalu bersikap, berkata, dan berbuat dalam konteks kebaikan yang diatur sekolah.
Pada bagian lain, masih menurut perspektif hypnoterapi, pikiran bawah sadar kita, termasuk anak-anak kita, tidak dapat menangkap kalimat negatif yang ditandai kata “tidak” atau “dilarang”. Kita ambil contoh aturan “Tidak Boleh Membuang Sampah Sembarangan” , maka pikiran bawah sadar kita tidak akan menangkapkan kata “Tidak” atau “Jangan” sebagai penanda kalimat negatif. Pikiran bawah sadar kita hanya akan menangkap kalimat positif, sehingga larangan itu akan ditangkap pikiran bawah sadar kita sebagai “Boleh Membuang Sampah Sembarangan” . Perspektif hypnoterapi itu mengonfirmasi kenyataan masyarakat kita yang doyan membuang sampah sembarangan meskipun tak kurang tulisan larangan membuang sampah terpampang di banyak penjuru. Aturan yang baik, menurut kacamata hypnoterapi, harus dibentuk dalam kalimat positif, sehingga langsung dapat diterima alam bawah sadar kita, misalnya “Terima kasih Anda sudah membuang sampah pada tempatnya”.
Menurut saya, sekolah tak perlu membuat aturan pelarangan secara tertulis. Perbuatan negatif yang mungkin dilakukan anak sebaiknya diatur secara tidak tertulis (konvensi) untuk menghindari tumpang-tindih atau berlebih-lebihan (redundant). Konvensi tetap dapat menjangkau pemberlakuan aturan sejauh pihak sekolah tanggap untuk menegakkan konvensi tersebut dengan sejumlah sanksi moral yang mengedukasi anak.
Syukurlah pihak sekolah menyambut baik masukan saya dengan mendekonstruksi aturan itu. Pihak sekolah lalu menghapus peraturan disiplin tersebut dan menggantinya dengan aturan baru yang dilandasi trust kepada siswa.
Advertisement