-->

Amal Shaleh Untuk Tujuan Dunia

Amal Shaleh Untuk Tujuan Dunia
Amal Shaleh Untuk Tujuan Dunia

Amal shaleh untuk tujuan dunia 
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Setiap Muslim harus menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa nrimo merupakan salah satu di antara dua syarat diterimanya amal perbuatan. Syarat yang kedua ialah ittibâ’; mengikuti syari’at dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa kedua syarat ini maka amal ibadah tidak akan diterima. Dalil wacana dua syarat ini sangat banyak disebutkan dalam Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalil pribadi maupun dalil tidak langsung. Dan itu sudah banyak di paparkan di majalah ini pada edisi-edisi terdahulu.

Karena itu, di samping ittibâ’, nrimo merupakan keharusan yang mesti diperjuangkan oleh setiap Muslim dikala hendak atau sedang melaksanakan amal-amal ibadah.

Nah, selanjutnya bagaimana dengan seseorang yang melaksanakan amal-amal ibadah namun maksudnya untuk memperoleh jawaban dunia? Apakah ia termasuk orang yang nrimo dalam beribadah atau tidak?

Sesungguhnya secara umum, bederma untuk tujuan dunia merupakan perbuatan syirik yang akan menghilangkan kesempurnaan tauhid yang wajib dan menimbulkan amal shaleh yang dilakukannya sia-sia tanpa pahala.[1]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka jawaban amal perbuatan mereka di dunia dengan tepat dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.  Itulah orang-orang yang di alam abadi tidak akan memperoleh apa-apa kecuali neraka,  dan lenyaplah di alam abadi itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hûd/11:15-16]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774) dalam tafsirnya membawakan riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu yang mengatakan, “Sesungguhnya para andal riyâˈ dengan amal-amal hasanât (amal-amal kebaikan) yang dilakukannya akan memperoleh apa yang mereka inginkan di dunia, tanpa dizhalimi sedikitpun.

Barangsiapa yang melaksanakan amal shaleh, baik berupa puasa, shalat, atau tahajud di malam hari, tetapi semua itu tidak dilakukan kecuali untuk memperoleh dunia, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala katakana, “Akan Kupenuhi semua upah dunia yang ia carinya, tetapi amal yang dimaksudkan untuk mencari dunia itu menjadi sia-sia di akhirat, dan ia akan menjadi golongannya orang-orang yang rugi di akhirat.[2]

Sementara, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di t (wafat 1376 H) dalam tafsirnya wacana surat Hûd, ayat ke-15  menyebutkan:

(Pengertian: Barangsiapa yang menghedaki kehidupan dunia dan perhiasannya) maksudnya: Semua kehendaknya hanya terbatas pada keinginan (memperoleh) kehidupan dunia dan perhiasannya, baik wanita, belum dewasa maupun harta benda yang berlimpah; berupa emas, perak, kuda yang bagus, hewan-hewan ternak maupun sawah ladang. Segala keinginan, usaha dan perbuatannya hanya dimaksudkan untuk hal-hal duniawi menyerupai ini. Keinginannya sama sekali tidak diperuntukkan untuk memperoleh akhirat. Namun tujuan yang hanya demikian ini, hanyalah dilakukan oleh orang kafir saja. Sebab jikalau seseorang itu Mukmin, tentu keimanan yang ada pada dirinya akan menghalangi kehendaknya untuk hanya memperoleh tujuan dunia belaka. Bahkan keimanan yang dimilikinya  serta amal yang dilakukannya, justeru alasannya ialah efek dari keinginannya terhadap akhirat.[3]

Kalau bukan alasannya ialah keinginannya terhadap akhirat, bagaimana mungkin seseorang beriman dan bederma shaleh? Artinya, keinginan terhadap alam abadi itulah yang menimbulkan seseorang menjadi beriman dan melaksanakan amal-amal ibadah.

Sedangkan Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan Âlusy Syaikh t (wafat th. 1285 H) menyebutkan klarifikasi Ibnu ‘Abbâs z wacana ayat ini sebagai berikut:

Barangsiapa menghendaki upah dunia dan perhiasannya berupa harta, pasti Kami (Allâh) akan penuhi segala usaha untuk mendapatkannya, baik kesehatan maupun kesenangan terhadap harta, isteri maupun anak. Semuanya itu akan diberikan dan tidak akan dikurangi sedikitpun. Tetapi kemutlakan ayat ini kemudian dibatasi pengertiannya dengan ayat lain (yaitu Al-Isrâˈ, ayat ke-18), sehingga tidak semua orang dan tidak semua keinginan yang demikian mesti terpenuhi seluruhnya, tetapi terikat pada kehendak Allâh Azza wa Jalla .[4]

Maksudnya tidak semua orang yang menginginkan dunia dengan amal perbuatannya, akan dipenuhi seluruhnya oleh Allâh Azza wa Jalla . Tetapi hanya orang yang dikehendaki-Nya saja, dan hanya sesuai dengan kadar yang dikehendaki-Nya pula.

Ayat yang dimaksud ialah firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan kini (dunia), maka Kami segerakan baginya (balasan) di dunia ini sesuai dengan apa yang Kami kehendaki, bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahannam yang ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. [Al-Isrâˈ/17:18]

Beliau rahimahullah juga membawakan riwayat dari Qatâdah rahimahullah yang mengatakan: Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa barangsiapa yang menimbulkan dunia sebagai cita-citanya, tuntutan dan tujuannya, maka Allâh Azza wa Jalla akan memperlihatkan jawaban dari amal-amal perbuatan baiknya di dunia ini. Kemudian ia akan hingga di alam abadi sedangkan ia tidak mempunyai satu kebaikanpun yang akan diberi balasan. Adapun seorang Mukmin, maka dengan perbuatan-perbuatan baiknya, ia akan mendapat jawaban di dunia dan akan mendapat pahala pula di akhirat.[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan dengan sabdanya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ، طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ، مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، كَانَ فِي الحِرَاسَةِ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ»   

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia bersabda: “Celakalah hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian indah. Jika ia diberi, ia ridha (senang), tetapi jikalau tidak diberi, ia benci. Celakalah ia dan tersungkurlah pada wajahnya, apabila terkena duri, ia tidak akan sanggup mengeluarkannya meskipun dengan tatah. (Sebaliknya) berbahagialah (karena mendapat pohon sorga) bagi seorang hamba yang mengendalikan tali kekang kudanya untuk berjihad di jalan Allâh hingga rambutnya kusut masai dan kakinya berdebu. Jika ia bertugas melaksanakan penjagaan, ia tetap berada pada kiprah penjagaan. Jika ia bertugas di dalam pasukan inti, ia tetap berada pada pasukan inti. Apabila ia meminta izin, ia tidak mendapat kesempatan untuk diberi izin dan jikalau ia minta pertolongan, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk ditolong.[HR. Bukhâri dan lainnya].[6]

Hadits ini menjelaskan dua jenis manusia. Pertama, para hamba dunia yang keinginan hidupnya untuk dunia dan perhiasannya. Yang kedua, para hamba Allâh sejati, yaitu orang-orang yang selalu ridha dengan segala yang menciptakan Allâh Azza wa Jalla ridha, dan membenci segala apa yang mengundang marah Allâh Azza wa Jalla .

Dalam hadits ini dijelaskan: “Orang yang menjadi hamba dunia; berhak mendapat doa buruk dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jadinya pasti jelek. Orang yang demikian tentu akan mendapat imbas buruk dari doa tersebut dengan terjerumus ke dalam musibah dunia maupun akhirat.”[7]

Sedangkan hamba Allâh sejati ialah orang yang selalu ridha terhadap apa yang diridhai Allâh Azza wa Jalla , marah terhadap apa yang mendatangkan marah Allâh Azza wa Jalla , dan membenci apa yang mendatangkan kebencian Allâh dan RasulNya. Ia selalu membela para wali Allâh dan memusuhi musuh-musuh Allâh. Inilah hamba yang imannya benar-benar sempurna.[8] Orang ini berhak mendapat kesepakatan kebahagiaan hidup di surga.

Oleh alasannya ialah itu, hendak masing-masing kita waspada, jangan hingga terjerumus menjadi hamba harta dan dunia, alasannya ialah jadinya sangat berbahaya bagi kehidupan kita, di dunia maupun di akhirat.

IBADAH UNTUK TUJUAN DUNIA

Kalimat amal ibadah untuk tujuan dunia mempunyai bebarapa kemungkinan makna; Ada kemungkinan bermakna riyâˈ atau sum’ah, yaitu apabila seseorang menghias-hiasi amal perbuatannya di hadapan orang lain supaya terlihat indah dan mendapat pujian. Atau seseorang dengan amal perbuatannya menginginkan upah dunia menyerupai orang yang berjihad untuk mendapat bayaran.[9]

Apabila yang dimaksud dengan tujuan dunia ialah riyâˈ atau sum’ah atau kebanggaan orang, maka Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di t memperlihatkan beberapa rincian sebagai berikut:

Apabila maksud yang mendorong seseorang melaksanakan amal shaleh ialah ingin dilihat orang lain (pamer), dan keinginan yang rusak ini terus berlanjut, maka amal shaleh yang dilakukannya menjadi sia-sia tanpa pahala dan termasuk syirik asghar. Dan dikhawatirkan menjadi jalan menuju syirik akbar.
Apabila yang mendorong seseorang untuk melaksanakan amal shaleh ialah keinginannya untuk mencari wajah Allâh dan ridha-Nya, tetapi bersamaan dengan itu juga besar keinginannya untuk dilihat orang lain (pamer), maka berdasarkan zhahir nash-nash yang ada wacana itupun memperlihatkan bahwa amalan itu batal (sia-sia).
Apabila yang mendorong seseorang melaksanakan amal shaleh ialah keinginannya untuk mencari wajah Allâh dan ridha-Nya saja, tetapi di tengah pelaksanaan amalnya muncul riyâˈ, maka jikalau ia berusaha menghilangkan riyâˈ ini dan berusaha nrimo alasannya ialah Allâh Azza wa Jalla , maka hal ini tidak membahayakan nilai amalnya. Namun apabila ia merasa hening dengan riyâˈ yang muncul di tengah amalnya itu, maka nilai amalnya menjadi berkurang. Pelakunya mengalami kelemahan kepercayaan dan ikhlas, sesuai dengan kadar riyâˈ yang ada di dalam hatinya. Noda riyâˈ inilah yang telah menggoyang amal shalehnya.
Riyâˈ merupakan penyakit besar yang memerlukan penanganan serius, memerlukan upaya untuk melatih diri biar ikhlas, memerlukan usaha keras untuk menolak segala keinginan pamer serta tujuan-tujuan berbahaya lainnya, dan memerlukan kesungguhan dalam beristi’ânah (meminta pertolongan) kepada Allâh dalam menyingkirkan keinginan-keinginan rusak dari dalam hati. Sehingga dengan demikian, semoga Allâh menjernihkan keimanan seorang hamba dari noda dan menegakkan tauhidnya. [10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ؟ قَالَ: الرّيِاَءُ، يَقُوْلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَصْحَابِ ذَلِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَازَى النَّاسَ: اِذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً؟! رواه أحمد وغيره

Sesungguhnya hal yang paling saya khawatirkan bagi diri kalian ialah syirik asghar. Para Sahabat bertanya: Apakah syirik asghar itu? Beliau menjawab : Riyâˈ. Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para pelaku riyâˈ itu pada hari final zaman dikala Dia telah membagi-bagi jawaban kepada manusia: Pergilah kalian menuju orang-orang yang kalian berpamer kepada mereka di dunia. Perhatikanlah, apakah kalian akan mendapat jawaban dari mereka? [HR. Ahmad dan lainnya][11]

Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan larangan riyâˈ.

Demikianlah kesimpulan secara garis besar apabila yang dimaksud dengan bederma untuk tujuan dunia ialah riyâˈ atau sum’ah atau kebanggaan orang.

Namun apabila yang dimaksud ialah selain riyâˈ atau sum’ah atau kebanggaan orang, contohnya melaksanakan amal-amal ibadah atau amal shaleh, tetapi motivasinya untuk memperoleh jawaban dunia menyerupai upah, kedudukan dan sebangsanya, maka juga terdapat beberapa princian.

Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah memperlihatkan klarifikasi sebagai berikut:

Apabila kehendak seseorang (ketika bederma shaleh atau beribadah) seluruhnya tercurah untuk maksud dunia ini, sama sekali tidak menghendaki wajah Allâh, ridha-Nya dan kehidupan akhirat, maka orang ini tidak akan memperoleh penggalan kebaikan sedikitpun di akhirat.
Tetapi perbuatan menyerupai ini tidak akan dilakukan oleh seorang Mukmin, alasannya ialah seorang Mukmin betapapun lemah imannya, pasti dia menginginkan Allâh Azza wa Jalla dan kehidupan akhirat.

Apabila seseorang melaksanakan amal perbuatan alasannya ialah Allâh Azza wa Jalla dan juga alasannya ialah dunia, sedangkan kedua maksud itu berimbang atau kurang lebih sama, maka apabila ia Mukmin, berarti ia ialah orang yang lemah iman, tauhid dan keikhlasannya. Nilai amal perbuatannyapun berkurang alasannya ialah kehilangan kesempurnaan keikhlasan.
Adapun orang yang nrimo bederma hanya alasannya ialah Allâh saja dan keikhlasannya sempurna, namun kemudian ia mengambil upah dari amal perbuatannya, yang dengan upah itu ia pergunakan pula untuk beribadah dan untuk kepentingan agama, maka hal ini tidak mengandung ancaman apa-apa terhadap keutuhan keimanannya. Misalnya upah yang dipakai untuk kebaikan sosial. Atau menyerupai seorang mujahid yang kemudian mendapat ghanimah atau rezeki, atau menyerupai mendapat harta wakaf yang didigunakan untuk masjid, sekolah, atau untuk orang-orang yang melaksanakan tugas-tugas agama. Sebab dengan tindakannya, orang ini tidak meliliki kehendak dunia, tetapi hanya mengharapkan kebaikan bagi agama dan hal-hal yang sanggup membantunya untuk melaksanakan kewajiban agama.[12]
Jadi, orang yang bederma alasannya ialah tujuan dunia, secara umum sangat berbahaya bagi nilai amalnya, kecuali jikalau yang dimaksudkan ialah sebagaimana keterangan terakhir di atas.

Kesimpulannya, melaksanakan amal shaleh untuk kepentingan dunia tanpa dimaksudkan untuk kepentingan alam abadi sedikitpun, hanyalah tindakan orang yang tidak beriman. Sementara jikalau mempunyai tujuan nrimo alasannya ialah Allâh Azza wa Jalla , tetapi berbareng dengan itu mempunyai tujuan duniawi, akan sanggup mengurangi nilai amalan yang dilakukannya, dan menjadi menunjukan lemahnya kepercayaan pelakunya. Wallahu a’lam.

MARAJI’

Tafsir Ibnu Katsir
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di
Shahîh al-Bukhâri dalam Fathu al-Bâri (standar)
Musnad Imâm Ahmad, Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. I, 1416 H/1995 M. Syarh (tahqîq): Hamzah Ahmad az-Zain
Al-Mu’jam al-Kabîr, Imam ath-Thabrâni. Tahqîq: Hamdî ‘Abdul Majîd as-Salafi, Muˈassasah ar-Rayyân & Maktabah al-Ashâlah wa at-Turâts, I, 1431 H/2010 M
Silsilah Shahîhah, Syaikh al-Albâni rahimahullah
Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb, tahqîq: Dr. Al-Walîd bin ‘Abdur-Rahmân Âl-Fariyyân, Dâr ‘Âlam al-Fawâˈid, VI, 1420 H.
Al-Qaul as-Sadîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Rasâˈil wa Dirâsât Manhaj Ahlis Sunnah seri 13, Penerbit: Dâr al-Wathan li an-Nasyr, I, Rajab 1412 H
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] Lihat Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Syaikh ‘Abdur Rahmân bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb, tahqîq: Dr. Al-Walîd bin ‘Abdur-Rahmân Âl-Fariyyân, Dâr ‘Âlam al-Fawâˈid, cet. VI, 1420 H, II/625, Bâb Min asy-Syirki: Irâdatul Insân bi ‘Amalihi ad-Dun-yâ.

[2] Tafsîr Ibnu Katsîr, Qur’an surat. Hûd : 15-16

[3] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Qur’an surat. Hûd : 15

[4] Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, op.cit. II/626 dengan bahasa bebas.

[5] Ibid. Lihat pula Tafsîr Ibnu Katsîr, Qur’an surat. Hûd : 15-16.

[6] Shahîh al-Bukhâri dalam Fathu al-Bâri VI/81, no. 2887

[7] Fathu al-Majîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, op.cit. II/631 dengan bahasa bebas.

[8] Ibid, II/632

[9] Ibid, II/625 dengan bahasa ringkas dan bebas.

[10] Al-Qaul as-Sadîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, Rasâˈil wa Dirâsât Manhaj Ahlis Sunnah seri 13, Penerbit: Dâr al-Wathan li an-Nasyr, cet. I, Rajab 1412 H, Bâb Mâ Jâˈa fi ar-Riyâˈ, hal. 128. Tauhîd, Rasâˈil wa Dirâsât

[11] Lihat Silsilah Shahîhah, Syaikh al-Albâni rahimahullah , no. 951, II/634-635. Lihat pula Musnad Imâm Ahmad, Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. I, 1416 H/1995 M. Hadîts Mahmûd bin Labîd, VXII/61, Syarh (tahqîq): Hamzah Ahmad az-Zain, no. 23526. Juga Al-Mu’jam al-Kabîr, Imam ath-Thabrâni. Tahqîq: Hamdî ‘Abdul Majîd as-Salafi, Muˈassasah ar-Rayyân & Maktabah al-Ashâlah wa at-Turâts, cet. I, 1431 H/2010 M, IV/1085, Mahmûd bin Labîd al-Anshâri ‘An Râfi’ bin Khudaij, no. 4301.
[12] Al-Qaul as-Sadîd Syarh Kitâb at-Tauhîd, op.cit. 129
Sumber: https://almanhaj.or.id/5954-amal-shaleh-untuk-tujuan-dunia.html


Advertisement