KETIKA SATU IDEOLOGI TIDAK DISAMPAIKAN OLEH RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Ustadz Ashim bin Musthafa Lc,
Sesungguhnya Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan misi risalah dari Allâh Azza wa Jalla yang menjadi kiprah dia sebagai utusan-Nya dengan tuntas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyembunyikan apapun dari risalah Islam meski hanya satu abjad pun. Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan dia biar memberikan seluruh risalah yang menjadi tanggung-jawab beliau, dan sekaligus melarangnya dari tindakan menyembunyikan atau menutup-nutupi sebagian darinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jikalau tidak kau kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kau tidak memberikan amanat-Nya. [al-Mâidah/5:67].
Maksudnya, wahai Rasul, sampaikanlah seluruh risalah yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Janganlah engkau menyembunyikan apapun darinya dikarenakan takut mengalami keburukan-keburukan. Dan jikalau kau tidak memberikan seluruh risalah yang diturunkan kepadamu, berarti kau tidak memberikan risalah-Nya, lantaran menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan semuanya. [1]
Dan sungguh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma telah bersaksi perihal hal ini dengan berkata, “Siapa saja yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari yang Allâh Azza wa Jalla turunkan (wahyukan) kepada beliau, sungguh ia orang yang berdusta, alasannya yaitu Allâh Azza wa Jalla berfirman: { “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” } hingga tamat ayat. [2]
Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan hadits Jabir yang panjang bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan bekerjsama saya telah tinggalkan di tengah kalian sesuatu yang kalian tidak akan sesat sehabis itu bila kalian berpegang teguh dengannya, (yaitu) Kitâbullâh. Dan kalian akan ditanya perihal aku, apakah nanti yang akan kalian katakan?”. Para Shahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa bekerjsama engkau telah memberikan (risalah), melakukan (amanah) dan nrimo dalam memberi nasihat”. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ke arah langit dan lalu mengarahkannya kepada orang-orang:
Ya Allâh, saksikanlah, ya Allâh, saksikanlah[3]
Apa yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla sudah merupakan pemikiran Islam yang tepat dan wajib diamalkan. Tidak ada kekurangan ditinjau dari aspek manapun yang harus disempurnakan, tidak ada unsur dilema yang timbul hingga membutuhkan solusi, tidak ada pemikiran yang masih bersifat global sehingga membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
Ajaran Islam yang tepat yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sekalian umat insan tidak membutuhkan embel-embel atas apa yang telah disyariatkan di dalamnya, baik terkait pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya, juga tidak memerlukan tambahan, perubahan, penggantian, dan tidak diterima agama dari siapapun selain agama Islam. Dan tidak diterima dari siapapun ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum.
Dan di antara pemikiran yang sudah niscaya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan yaitu ajaran-ajaran yang bekerjasama dengan tauhid yang wajib diyakini oleh umat Islam. Bahkan kasus aqidah yaitu kasus terpenting dibandingkan perkara-perkara agama lainnya.
Abul Muzhaffir as-Sam’âni rahimahullah mengatakan, “Dan di antara kasus yang dia diperintahkan untuk menyampaikannya ialah kasus tauhid. Bahkan ini merupakan kasus paling prinsip yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk menyampaikannya, sehingga dihentikan melewatkan apapun dari perkara-perkara agama yang merupakan prinsip-prinsip dasarnya, kaedah-kaedah utamanya serta ajaran-ajaran syariatnya kecuali telah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan”.
Maka, aqidah Islam, aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, hanya bersumber dari keterangan dan klarifikasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah hanya berlandaskan ayat-ayat al-Qur`ân dan Hadits-hadits yang shahîh saja. Pembahasan aqidah yang identik dengan pembicaraan perihal alam gaib, semisal perihal Allâh Azza wa Jalla, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya Tidak ada unsur ra`yu insan padanya. Inilah yang dipegangi oleh Salaful ummah, generasi para pendahulu umat Islam, yang secara otomatis mesti diyakini oleh umat Islam sepanjang masa.
Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah mulai tampak dan muncul bersamaan dengan masa kenabian Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunnya wahyu kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa jalla, dan lalu dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat yang mulia dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.
Sedangkan aqidah dan pemikiran-pemikiran lainnya tidak ada wujudnya sama sekali pada masa kenabian, tidak tidak pula diyakini oleh generasi Shahabat. Sebagian ideologi dan pemikiran itu gres muncul pada masa Shahabat atau sehabis generasi Shahabat telah pergi, sehingga terhitung dalam kategori muhdatsâtul umûr, yaitu kasus gres dalam Islam yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umat darinya. Beliau bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةِ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap kasus gres (dalam agama) yaitu bid’ah dan setiap bid’ah yaitu sesat. [HR. Abu Dâwûd no.4067]
Maka, tidak masuk di logika bila ada satu kebenaran yang tertutup bagi para Shahabat Radhiyallahu anhum dan gres terungkap oleh orang-orang yang tiba sehabis generasi mereka. Aqidah-aqidah dan pemikiran-pemikiran yang banyak muncul di tengah Islam, seandainya merupakan kebaikan dan kebenaran, pastilah para Shahabat Radhiyallahu anhum telah menjadi orang-orang yang pertama-tama mengetahui dan mendapatkannya. Akan tetapi, semua itu merupakan keburukan yang Allâh Azza wa Jalla memelihara mereka darinya dan menjadi materi ujian bagi generasi selanjutnya.
Sudah tentu, aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah berkarakter jelas, kokoh, murni dan higienis dari segala kesamaran, perkataan yang bertele-tele dan teori-teori yang memusingkan kepala. Aqidah Ahli Sunnah sejalan dengan fitrah insan yang lurus dan akan gampang diterima oleh orang yang bakir yang higienis dari penyakit-penyakit syubhat.
Berbeda dengan aqidah-aqidah sekte-sekte yang ada, saling kontradiktif, sangat membingungkan, bertentangan dengan logika sehat dan tidak mengenalkan insan kepada Penciptanya Azza wa Jalla.
Ada perbedaan yang amat jauh antara aqidah Ahli Sunnah dan aqidah-aqidah dari kelompok-kelompok yang tidak kesepakatan dengan nash-nash syar’i dalam aqidah. Hal ini dikarenakan aqidah Ahli Sunnah dibawa Jibrîl Alaihissallam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan aqidah-aqidah lainnya muncul dari otak para penggagasnya yang tercipta dari tanah dan Allâh Azza wa Jalla membuat mereka dari air yang hina.
Maka, tidak mengherankan bila Imam Hasan al-Bashri rahimahullah, seorang Ulama dari generasi Tâbi’în, pernah menyampaikan untuk mengomentari pemikiran Ja’d bin Dirham,:
لَوْ كَانَ مَا يَقُوْلُ الْجَعْدُ حَقًّا لَبَلَّغَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seandainya apa yang dilontarkan oleh Ja’d itu benar, pastilah benar-benar telah disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam“.[4]
Ja’d bin Dirham yaitu ideolog pemikiran Jahmiyyah yang menolak sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan dalih penetapannya akan menjadikan penyerupaan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Ideologi ini dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwân lantaran dialah orang yang menampakkan dan menyebarluaskan pemikiran batil ini.
Dengan dasar perkataan Hasan al-Bashri rahimahullah ini, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd mengatakan:
لَوْ كَانَ مَا يَقُوْلُ الْأَشَاعِرَةُ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ حَقًّا لَبَلَّغَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seandainya pernyataan-pernyataan kaum Asy’ariyah dan orang-orang yang lain dari kalangan Ahli kalam (dalam aqidah) itu benar, pastilah sudah disampaikan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Demikian pula, seluruh pemikiran menyimpang yang ada di tengah kaum Muslimin , seandainya benar, pastilah sudah disampaikan oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semoga Allâh Azza wa Jalla menawarkan hidayah kepada kita dan seluruh umat Islam menuju jalan yang haq dan menyelamatkan kita semua dari jalan-jalan kesesatan. Âmîn.
Sumber bacaan:
Ma’ârijul Qabûli bi Syarhi Sullamil Wushûl ilâ ‘Ilmil Ushûl 3/1292-1294.
Muqaddimah Qathfu Janad Dâni Syarhu Muqaddimah Abi Zaid al-Qairuwâni, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, Darul Fadhilah, Cet.I Th.1422 H, hlm.5-7.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Tafsir al-Jalâlain hlm.252.
[2] HR. Al-Bukhari no.4612 dan Muslim no.177.
[3] HR. Muslim no.1218.
[4] Fathul Bâri 13/504.
Sumber: https://almanhaj.or.id/5760-ketika-satu-ideologi-tidak-disampaikan-oleh-raslullh-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html
Oleh
Ustadz Ashim bin Musthafa Lc,
Sesungguhnya Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan misi risalah dari Allâh Azza wa Jalla yang menjadi kiprah dia sebagai utusan-Nya dengan tuntas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyembunyikan apapun dari risalah Islam meski hanya satu abjad pun. Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan dia biar memberikan seluruh risalah yang menjadi tanggung-jawab beliau, dan sekaligus melarangnya dari tindakan menyembunyikan atau menutup-nutupi sebagian darinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jikalau tidak kau kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kau tidak memberikan amanat-Nya. [al-Mâidah/5:67].
Maksudnya, wahai Rasul, sampaikanlah seluruh risalah yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Janganlah engkau menyembunyikan apapun darinya dikarenakan takut mengalami keburukan-keburukan. Dan jikalau kau tidak memberikan seluruh risalah yang diturunkan kepadamu, berarti kau tidak memberikan risalah-Nya, lantaran menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan semuanya. [1]
Dan sungguh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma telah bersaksi perihal hal ini dengan berkata, “Siapa saja yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari yang Allâh Azza wa Jalla turunkan (wahyukan) kepada beliau, sungguh ia orang yang berdusta, alasannya yaitu Allâh Azza wa Jalla berfirman: { “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” } hingga tamat ayat. [2]
Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan hadits Jabir yang panjang bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan bekerjsama saya telah tinggalkan di tengah kalian sesuatu yang kalian tidak akan sesat sehabis itu bila kalian berpegang teguh dengannya, (yaitu) Kitâbullâh. Dan kalian akan ditanya perihal aku, apakah nanti yang akan kalian katakan?”. Para Shahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa bekerjsama engkau telah memberikan (risalah), melakukan (amanah) dan nrimo dalam memberi nasihat”. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ke arah langit dan lalu mengarahkannya kepada orang-orang:
Ya Allâh, saksikanlah, ya Allâh, saksikanlah[3]
Apa yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla sudah merupakan pemikiran Islam yang tepat dan wajib diamalkan. Tidak ada kekurangan ditinjau dari aspek manapun yang harus disempurnakan, tidak ada unsur dilema yang timbul hingga membutuhkan solusi, tidak ada pemikiran yang masih bersifat global sehingga membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
Ajaran Islam yang tepat yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sekalian umat insan tidak membutuhkan embel-embel atas apa yang telah disyariatkan di dalamnya, baik terkait pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya, juga tidak memerlukan tambahan, perubahan, penggantian, dan tidak diterima agama dari siapapun selain agama Islam. Dan tidak diterima dari siapapun ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum.
Dan di antara pemikiran yang sudah niscaya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan yaitu ajaran-ajaran yang bekerjasama dengan tauhid yang wajib diyakini oleh umat Islam. Bahkan kasus aqidah yaitu kasus terpenting dibandingkan perkara-perkara agama lainnya.
Abul Muzhaffir as-Sam’âni rahimahullah mengatakan, “Dan di antara kasus yang dia diperintahkan untuk menyampaikannya ialah kasus tauhid. Bahkan ini merupakan kasus paling prinsip yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk menyampaikannya, sehingga dihentikan melewatkan apapun dari perkara-perkara agama yang merupakan prinsip-prinsip dasarnya, kaedah-kaedah utamanya serta ajaran-ajaran syariatnya kecuali telah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan”.
Maka, aqidah Islam, aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, hanya bersumber dari keterangan dan klarifikasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah hanya berlandaskan ayat-ayat al-Qur`ân dan Hadits-hadits yang shahîh saja. Pembahasan aqidah yang identik dengan pembicaraan perihal alam gaib, semisal perihal Allâh Azza wa Jalla, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya Tidak ada unsur ra`yu insan padanya. Inilah yang dipegangi oleh Salaful ummah, generasi para pendahulu umat Islam, yang secara otomatis mesti diyakini oleh umat Islam sepanjang masa.
Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah mulai tampak dan muncul bersamaan dengan masa kenabian Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunnya wahyu kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa jalla, dan lalu dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat yang mulia dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.
Sedangkan aqidah dan pemikiran-pemikiran lainnya tidak ada wujudnya sama sekali pada masa kenabian, tidak tidak pula diyakini oleh generasi Shahabat. Sebagian ideologi dan pemikiran itu gres muncul pada masa Shahabat atau sehabis generasi Shahabat telah pergi, sehingga terhitung dalam kategori muhdatsâtul umûr, yaitu kasus gres dalam Islam yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umat darinya. Beliau bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةِ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap kasus gres (dalam agama) yaitu bid’ah dan setiap bid’ah yaitu sesat. [HR. Abu Dâwûd no.4067]
Maka, tidak masuk di logika bila ada satu kebenaran yang tertutup bagi para Shahabat Radhiyallahu anhum dan gres terungkap oleh orang-orang yang tiba sehabis generasi mereka. Aqidah-aqidah dan pemikiran-pemikiran yang banyak muncul di tengah Islam, seandainya merupakan kebaikan dan kebenaran, pastilah para Shahabat Radhiyallahu anhum telah menjadi orang-orang yang pertama-tama mengetahui dan mendapatkannya. Akan tetapi, semua itu merupakan keburukan yang Allâh Azza wa Jalla memelihara mereka darinya dan menjadi materi ujian bagi generasi selanjutnya.
Sudah tentu, aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah berkarakter jelas, kokoh, murni dan higienis dari segala kesamaran, perkataan yang bertele-tele dan teori-teori yang memusingkan kepala. Aqidah Ahli Sunnah sejalan dengan fitrah insan yang lurus dan akan gampang diterima oleh orang yang bakir yang higienis dari penyakit-penyakit syubhat.
Berbeda dengan aqidah-aqidah sekte-sekte yang ada, saling kontradiktif, sangat membingungkan, bertentangan dengan logika sehat dan tidak mengenalkan insan kepada Penciptanya Azza wa Jalla.
Ada perbedaan yang amat jauh antara aqidah Ahli Sunnah dan aqidah-aqidah dari kelompok-kelompok yang tidak kesepakatan dengan nash-nash syar’i dalam aqidah. Hal ini dikarenakan aqidah Ahli Sunnah dibawa Jibrîl Alaihissallam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan aqidah-aqidah lainnya muncul dari otak para penggagasnya yang tercipta dari tanah dan Allâh Azza wa Jalla membuat mereka dari air yang hina.
Maka, tidak mengherankan bila Imam Hasan al-Bashri rahimahullah, seorang Ulama dari generasi Tâbi’în, pernah menyampaikan untuk mengomentari pemikiran Ja’d bin Dirham,:
لَوْ كَانَ مَا يَقُوْلُ الْجَعْدُ حَقًّا لَبَلَّغَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seandainya apa yang dilontarkan oleh Ja’d itu benar, pastilah benar-benar telah disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam“.[4]
Ja’d bin Dirham yaitu ideolog pemikiran Jahmiyyah yang menolak sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan dalih penetapannya akan menjadikan penyerupaan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Ideologi ini dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwân lantaran dialah orang yang menampakkan dan menyebarluaskan pemikiran batil ini.
Dengan dasar perkataan Hasan al-Bashri rahimahullah ini, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd mengatakan:
لَوْ كَانَ مَا يَقُوْلُ الْأَشَاعِرَةُ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ حَقًّا لَبَلَّغَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seandainya pernyataan-pernyataan kaum Asy’ariyah dan orang-orang yang lain dari kalangan Ahli kalam (dalam aqidah) itu benar, pastilah sudah disampaikan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Demikian pula, seluruh pemikiran menyimpang yang ada di tengah kaum Muslimin , seandainya benar, pastilah sudah disampaikan oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semoga Allâh Azza wa Jalla menawarkan hidayah kepada kita dan seluruh umat Islam menuju jalan yang haq dan menyelamatkan kita semua dari jalan-jalan kesesatan. Âmîn.
Sumber bacaan:
Ma’ârijul Qabûli bi Syarhi Sullamil Wushûl ilâ ‘Ilmil Ushûl 3/1292-1294.
Muqaddimah Qathfu Janad Dâni Syarhu Muqaddimah Abi Zaid al-Qairuwâni, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd, Darul Fadhilah, Cet.I Th.1422 H, hlm.5-7.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Tafsir al-Jalâlain hlm.252.
[2] HR. Al-Bukhari no.4612 dan Muslim no.177.
[3] HR. Muslim no.1218.
[4] Fathul Bâri 13/504.
Sumber: https://almanhaj.or.id/5760-ketika-satu-ideologi-tidak-disampaikan-oleh-raslullh-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html
Advertisement