-->

Tempo Jangan Cari Musuh !

Tempo Jangan Cari Musuh !
Tempo Jangan Cari Musuh !

Jakarta - Tiba-tiba saja Tempo menghajar buzzer dari beberapa sisi, mem-framing sedemikian rupa seakan-akan para pendengung itu barang haram yg merusak serta membahayakan demokrasi. Berbagai senjata dikerahkan. Selain digempur lewat opini di majalah, digelorakan di surat kabar serta online, juga diviralkan lewat twitter serta blog sosial miliknya, Indonesiana. Sistematis sekali.

Belakangan orang-orang telah mulai jenuh dengan pemberitaan, framing serta opini Tempo mengenai buzzer, terutama apa yg ia sebut "Buzzer Istana" itu. Mungkin telah terlalu "over" serta telah melalui batas proporsional. Terlebih lagi para pembaca yg kritis mulai bertanya-tanya, apa maunya Tempo terhadap buzzer? Apa yg ia inginkan?

Besar kemungkinan serta ini baru dugaan Tempo memendam dendam gara-gara netizen di media umum mengkritik Tempo atas pemuatan karikatur bayangan hidung Pinokio yg bersanding dengan Presiden Joko Widodo. Akibat agresi netizen ini, software Tempo baik untuk menyimak maupun berlangganan di PlayStore maupun AppStore terjun bebas.

Orang tiba-tiba melampiaskan kekesalan, pasti saja para pendukung fanatik Jokowi, dengan meng-uninstall software Tempo tersebut jadi ratingnya melorot. Bahkan pada satu titik, software itu lenyap tidak berbekas, walau Tempo punya argumen sendiri mengenai lenyapnya software itu di Android maupun Apple.

Tempo pasti mengira, agresi masif berupa gerakan uninstall software di kedua platform itu dilakukan oleh apa yg ia sebut sebagai "Buzzer Istana". Di sini Tempo menutup mata serta sama sekali tidak menyinggung soal kemungkinan adanya "Buzzer Kartanegara" alias bahkan "Buzzer Khilafah". Tuduhan dijatuhkan pribadi terhadap "Buzzer Istana" karena objek yg dipermasalahkan mengenai sosok bayangan hidung Pinokio.

Untuk memperkuat anggapan mengenai kehadiran "Buzzer Istana" ini, tidak lupa Tempo mengutip suatu kajian dari Oxford “The Global Disinformation Order2019 Global Inventory of OrganisedSocial Media Manipulation”. Kajian ini dilakukan oleh Samantha Bradshaw serta Phillip Howard dari University of Oxford dengan framing sangat jelas: “Pasukan Cyber Indonesia Lemahkan Pers” serta “Pro Jokowi Kuasai DPR, Buzzer Kuasai Medsos”.

Uniknya, sumber dari Oxford itu justru menampilkan sejumlah data yg sangat bertolak belakang dari yg diberitakan oleh Tempo dengan cara TSM; terstruktur, sistematis serta masif. Jika Tempo meneguhkan anggapan melalui framing-nya bahwa pemerintah memainkan pasukan cyber, justru terjawab lewat kajian Oxford itu; bahwa Pemerintah Indonesia tidak memakai buzzer. Nah, loh...

Soal framing “Buzzer Menguasai Medsos serta Lemahkan Pers”, dari kajian Oxford itu terlihat, buzzer Indonesia yg menyesaki media umum tetap berkategori rendah di mana pers tetap mendominasi pemberitaan serta kepercayaan masyarakat akan suatu pemberitaan sebagai produk jurnalistik tetap sangat tinggi.

Saya sempat menulis mengenai masalah ini dengan judul "Buzzer, The Death of Reporter" yg cukup mendapat perhatian publik, sampai-sampai lima media bersusaha mewawancarai saya. Tentu saya tidak selugas Michael Rosenblum yg menulis di Huffington Post empat tahun lalu suatu postingan yg menohok, “The End of Journalism”.

Sebagai orang-orang yg sempat bekerja di media arus mutlak selagi 26 tahun sebagai jurnalis sebelum akhirnya pensiun dini tiga tahun lalu, saya mengimbau terhadap Tempo jangan terlalu frontal menghadapi -apalagi melawan- para pendengung ini!

Mengapa?

''Karena buzzer merupakan realitas sosial yg ketika ini kehadirannya tidak dapat dihindarkan. Buzzer merupakan keniscayaan. Ia lahir karena maraknya media umum yg bekerja di ranah Internet. Kehadirannya sama dengan warga pewarta (citizen reporter).''

Dulu, kehadiran para pewarta mendapat kritikan (tepatnya nyinyiran) wartawan profesional media arus mutlak yg berpendapat warga mengadukan momen tanpa etika, tidak jarang sesuka hatinya, tidak mengenal kaidah jurnalistik, mengadukan faktor yg tidak penting serta bahkan tidak tahu bagaimana tutorial menulis. Toh para warga pewarta ini tidak dapat dilenyapkan begitu saja, malah goresan pena mereka makin menjejali Kompasiana serta Facebook, misalnya.

Kini Tempo menggelorakan permusuhan serta agresi frontal terhadap buzzer yg mau tidak mau akan menjadi catatan sejarah kurang baik bagi institusi media sebesar Tempo; bagaimana suatu institusi yg demikian mapan begitu ketakutan atas hadirnya buzzer!?

Tanpa disadarinya, Tempo ketika ini sedang menjiplak cara-cara Orde Baru yg sempat memberangusnya dengan framing untuk memberangus buzzer. Tempo yg menggelorakan keleluasaan berkata serta berpendapat, ketika ini sedang giat-giatnya mengglorifikasi pemberangusan terhadap opini serta pendapat para buzzer.

Saran saya; berhenti melakukan kepandiran mirip itu!

Mengapa? Ini demi kebaikan Tempo sendiri. Tempo jangan cari musuh, lebih baik tidak sedikit bergaul dengan beberapa kalangan, tergolong dapat nasib berdampingan dengan para buzzer, bukan malah menjadikannya musuh. Jangan malah menggali kuburnya sendiri di keramaian warga media sosial.

Jujur, urusan ekonomi media massa di era Internet yg telah memasuki 4.0 ini sangat rentan. Ini karena pembaca alias siapapun dapat membikin beritanya sendiri-sendiri melalui media umum yg mereka pilih. Media mereka bukan lagi kertas alias televisi, melainkan handphone di genggaman tangan. Mereka dengan mudahnya membalik media massa menjadi sekadar suplemen alias pelengkap saja, bukan info yg mutlak mirip zaman kuda gigit besi. Kalau telah begini, saya percaya senjakala media akan segera datang lebih cepat.

Dalam keadaan mirip inilah, di mana media umum salah satunya dikuasai para warga pewarta, netizen, buzzer serta influencer, telah seharusnya Tempo tidak mengutak-atik kehadiran "makhluk-makhluk Internet" itu, karena mereka punya kekuatan dahsyat yg tidak terduga, yaitu penggiringan opini dengan memviralkannya dengan cara cepat.

Apalagi, Tempo wajib menjaga kualitas sahamnya tetap stabil, menariki nvestor masuk, tidak terjun leluasa mirip sekarang ini. Ingat permasalahan BukaLapak yg aplikasinya sempat drop gara-gara LupaBapak? Jangan hingga ada gerakan dari para buzzer yg terluka ini untuk "unsubscribe" berlangganan Tempo. Jika ini terjadi, akan sangat berbahaya dibanding sekadar gerakan "uninstall" aplikasi.

Penulis: Pepih Nugraha
Advertisement